Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sebuah Narasi untuk Memahami "Kukila"

7 Januari 2018   19:12 Diperbarui: 13 April 2018   22:39 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya banyak yang sudah melakukannya. Memodifikasi cerita yang kadung sudah jadi, kemudian dikemas ulang. Sebagai contoh: novel "Sepatu Dahlan" yang ditulis Khrisna Pabhicara. Olehnya, novel tebal tersebut diringkas menjadi cerpen --tanpa membuka keseluruhan isi novelnya-- dengan judul yang sama. Atau, Seno Gumira Adjidarma dengan cerpen "Sepotong Senja untuk Pacarku". Awalnya memang hanya satu cerita itu, tapi kemudian olehnya dibuat seri-seri berikutnya: "Jawaban Alina" dan "Tukas Pos dalam Amplop". Dan kita mengenalnya dengan "Trilogi Alina".

Mungkin kita saja yang tidak siap menerima modifikasi-modifikasi semacam itu. Namun, untuk perkembangan dunia kepenulisan (sastra, pada umumnya), itu perlu dan memang mesti! Satu-satunya yang tahu bagaimana akhir sebuah cerita hanya penulis itu sendiri, bukan orang-orang di ruang redaksi.

***

Ada 16 cerita yang Aan Mansyur tawarkan dalam buku "Kukila". Secara keseluruhan, kumpulan cerpen ini berkisah tentang kegalauan remaja pada umur-umur 20 sampai 30an. Melihat bagaimana perubahan sikap dari remaja menjadi dewasa. Berlanjut ketika sudah dewasa kembali mengingat masa-masa keseruan kanak-kanak. Hingga kisah percintaan yang pasti mengikutinya.

Lihat saja bagaimana Aan Mansyur menceritakan pengalamannya berciuman dan pertama kali berhubungan badan. Lucu dan menarik, meski sedikit vulgar. Tapi pada masa-masa itulah, kita mengalami segala untuk pertama kali, bukan?

Dan, proses di mana memiliki kebebasan dalam memanjangkan rambut --khususnya untuk laki-laki-- ketika sudah kuliah dalam cerpen "Kebun Kepala di Kepalaku". Pergolakan batin dan kepatuhan anak kepada Ibu menjadi nyata. Namun, sebagai laki-laki yang mempunyai rambut panjang, cerita itu sungguh dekat. Walau tidak seekstrim yang dituliskan Aan  Mansyur dalam ceritanya: "Kalau begitu, Ibu meminta kaupotong rambutmu, atau potong saja leher Ibu," 


Serta, pada cerita "Setia adalah Pekerjaan yang Baik". Di sini kita akan temukan bagaimana Aan Mansyur mencoba medium lain sebagai keunikan kisahnya: ditulis di Twitter (dulu, ketika masih 140 karakter). Anggaplah itu hanya akal-akalan Aan Manyur dalam menuliskannya supaya lebih menarik. Karena, bisa saja, cerpen itu sudah jadi dan Aan Mansyur memotong menjadi 30 bagian. Sebagai orang yang suka bermain di Twitter, sudah banyak yang melakukan itu. Bahkan ditulis berseri-seri. 

Namun yang membedakan: cerpen Aan Mansyur bisa berdiri sendiri --tanpa terkait urutannya. Saya pernah mencoba mengacak-acak cerpen tersebut dengan urutan suka-suka. Seru. Kamu boleh coba. Hitung-hitung belajar merunutkan logika pembaca-penulis, atau menulis memadatkan cerita tanpa perlu embel-embel metafora.

***

Setiap buku, bagaimanapun isi dan bentuknya, selalu ada gagasan yang ingin disampaikan penulisnya. Dan, Kukila, saya kira, adalah cara Aan Mansyur merespon perkembangan sastra yang terkungkung (saya dapat kata "terkungkung" dari Widha, ketika saya memotret jari kaki pacarnya) meja redaksi surat kabar. 

Ketika menerbitkan ini, dugaan saya, Aan Mansyur memang sejak awal sudah merancangnya sedemikian rupa. Seperti kedua buku puisinya "Melihat Api Bekerja" dan "Cinta yang Marah"--edisi terbaru, yang diterbitkan Gramedia. Dalam kumpulan puisi "Melihat Api Bekerja" ia konsep seperti halnya sebuah kota dengan tata ruang yang acak. Jadi setiap pembaca bisa memasuki kota itu dari mana saja. Itu ditandai dengan tidak adanya daftar isi dalam buku tersebut. Sedangkan buku puisi "Cinta yang Marah" dipadukan dengan kurasi pemberitaan sepanjang masa-masa lengsernya Soeharto. Oia, untuk buku puisi "Cinta yang Marah" pun Widha tidak suka. Begini katanya dalam cuitan Twitter: 

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun