Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buku Puisi

10 September 2017   15:23 Diperbarui: 10 September 2017   15:46 1338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (@kulturtava)

Aku kira aku bisa memulainya tanpa kamu. Dan pertemuan ini, aku anggap sebagai petaka: semua yang dengan susah aku lupakan, kini dengan mudah kembali begitu saja. Kadang pertemuan memang bisa menjengkelkan. Aku benci hari ini. Aku juga benci pertemuan ini. Aku ingin mengutuknya dengan segala sumpah serapah seorang jendral yang kalah dalam peperangan. Ya, melupakanmu laiknya peperangan melawan ingatan. Susah, tapi aku sanggup. Tapi pertemuan ini, sekali lagi, adalah petaka.

***

Bila pada akhirnya kita berpisah, harapanku hanya satu: sama-sama bahagia walau itu mungkin (atau, malah pasti?) terasa semu. Memangnya dengan apa atau bagaimana kita bisa mengukur kebahagiaan? Parameter-parameter itu terlalu normatif. Bahkan kabur. Semestinya kita sadari ini sedari awal: bahwa melupakan adalah perkerjaan sia-sia. Aku tahu ini dari seorang penyair. Penyair kesayanganmu, yang katamu, bisa merobohkan nilai-nilai kesedihan. Hidup, kata penyair itu, hanyalah menunda kebahagiaan, selebihnya bersedih karena kenyataan.

Dulu ingin rasanya aku menertawakan itu. Tapi, aku tahu, aku tidak ingin menyakitimu untuk hal-hal yang seremeh menyepelekan seleramu. Membuat perempuan bersedih sama saja melukai ibu sendiri. Namun pada kenyataannya aku sering membuatmu kecewa berkali-kali, "bagaimana caranya membuatmu pesimis? Hidup tidaklah sesederhana itu."

Dengan sikap sedingin samurai, kamu jawab, "hidup itu sederhana, kamu saja yang tidak bisa mengertinya." Tapi aku bosan dengan jawaban-jawaban semacam itu. Hampir-hampir kamu bilang kalau dengan semangat tinggi, apapun bisa diraih. Apa pula itu?

Suatu saat, pikirku, kamu akan kecewa. Entah bagaimana cara mendapatkannya. Kemudian tidak lama tuhan mengabulkan apa yang aku pikirkan. Dan terjadilah, kata Tuhan. Kita berpisah. Aku tahu kamu kecewa. Begitu juga aku.

***

Buku-buku yang menumpuk di perpustakaan adalah teman. Meski kini tanpa kamu dan segelas kopi buatanmu --yang entah selalu bisa membuat aku gampang merindukanmu. Buku, kamu dan kopi; adakah yang bisa disesali?

Hari ini nampaknya aku akan lelah di perpustakaan. Ada beberapa kardus berisi buku-buku sumbangan. Aku tidak tahu isinya tentang apa buku-buku itu, namun biasanya seragam: buku-buku pelajaran sisa kurikilum yang lalu. Mungkin bagi orang-orang, perpustakaan umum adalah musium ilmu pengetahuan. Tempat segala buku-buku lawas dititipkan. Tentu aku tidak peduli. Jika ada yang memberikan aku terima, jika tidak, ya susun saja buku-buku yang ada. Dan sebagian isi perpustakaan ini adalah pemberianmu.

Kamu adalah pengepul buku ulung. Buku apa saja kamu beli, kamu baca dan melupakannya begitu saja. Butuh dua hari untukmu menghabiskan buku baru bacaanmu di perpustakaan. Setelah itu kamu tidak pernah lagi menyentuhnya. Aku juga pernah menggodamu, "apa kamu akan memperlakukan aku seperti halnya kamu memperlakukan buku?"

"Tentu saja tidak," katamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun