Di tengah dunia yang semakin didominasi cahaya layar, manusia modern seakan kehilangan ruang sunyi untuk menyapa dirinya sendiri. Dalam setiap notifikasi yang berdering dan video pendek yang berputar tanpa henti, perhatian kita terfragmentasi. Ironisnya, di balik kemudahan dan kecepatan informasi, banyak dari kita merasa semakin cemas, sulit tidur, dan kelelahan secara mental. Di sinilah membaca buku hadir bukan sekadar kegiatan nostalgia, melainkan bentuk perlawanan halus terhadap riuhnya dunia digital.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa membaca buku memiliki hubungan positif yang kuat dengan kesehatan mental. Aktivitas ini terbukti mampu menurunkan tingkat stres yang sama bahkan bisa saja melampaui efek relaksasi musik atau berjalan santai. Saat tenggelam dalam alur cerita, otak kita memasuki kondisi fokus yang mirip dengan meditasi. Pikiran dialihkan dari kekhawatiran sehari-hari, detak jantung melambat, dan tubuh merespons dengan tenang.
Namun, manfaat membaca tidak berhenti di sana. Ketika seseorang membaca fiksi, ia belajar memahami emosi dan sudut pandang orang lain. Ini adalah latihan empati, kemampuan yang semakin langka di era interaksi cepat dan dangkal. Dengan mengenali perjuangan karakter dalam cerita, kita belajar untuk memahami manusia di sekitar kita, memperdalam hubungan sosial, dan menumbuhkan kepekaan emosional. Dalam jangka panjang, membaca juga menjaga fungsi otak agar tetap tajam, memperkuat memori, serta mencegah penurunan kognitif pada usia lanjut.
Ritual membaca sebelum tidur bahkan menjadi bentuk self-care sederhana yang efektif. Alih-alih menggulir layar ponsel di bawah selimut, membuka buku dapat menurunkan aktivitas kortisol (hormon stres) dan membantu tubuh bersiap untuk istirahat. Tak heran banyak ahli kesehatan merekomendasikan "digital sunset" atau menonaktifkan gadget setidaknya 30 menit sebelum tidur dan menggantinya dengan membaca buku fisik.
Sayangnya, budaya membaca kini sedang menghadapi tantangan besar. Gadget, dengan segala daya tarik dan kepraktisannya, telah mengubah cara otak manusia bekerja. Paparan berlebihan terhadap layar tidak hanya menurunkan kemampuan fokus, tetapi juga menimbulkan gejala mirip kecanduan seperti sulit berhenti, terus-menerus mencari stimulus baru, dan merasa gelisah tanpa ponsel di tangan. Secara psikologis, penggunaan gadget yang berlebihan berkaitan erat dengan meningkatnya kecemasan, gangguan tidur, bahkan depresi ringan akibat overstimulasi informasi dan perbandingan sosial di media.
Lebih dari itu, gadget mengikis waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan reflektif seperti membaca. Satu jam menelusuri media sosial terasa sekejap, tapi menggenggam buku lima belas menit pun bisa terasa berat. Inilah jebakan yang pelan-pelan menggerus kebiasaan membaca, bukan karena kita tidak suka buku, tetapi karena perhatian kita telah dilatih untuk berpindah terlalu cepat.
Namun, kebiasaan membaca bukan sesuatu yang hilang selamanya. Ia bisa ditumbuhkan kembali, dengan cara yang lembut dan realistis. Mulailah dari hal paling sederhana yakni pilih buku yang benar-benar menarik minat, bukan yang terasa "harus dibaca." Bila kita menyukai kisah perjalanan, cobalah buku travelogue; bila gemar hal-hal reflektif, puisi atau esai mungkin menjadi pintu masuk. Ciptakan suasana membaca yang nyaman seperti lampu hangat, aroma kopi, dan musik instrumental lembut bisa menambah kenikmatan.
Tetapkan waktu khusus, meski hanya 10--15 menit sehari. Membaca tidak harus banyak, yang penting rutin. Perlahan, otak akan terbiasa masuk ke "ritme tenang" setiap kali membuka buku. Jangan memaksa diri menamatkan bacaan berat dalam semalam tetapi nikmati prosesnya seperti menyesap teh hangat yang pelan, tapi menenangkan.
Membangun kembali hubungan dengan buku berarti memberi ruang bagi diri sendiri untuk beristirahat dari dunia yang bising. Buku mengajarkan kita seni mendengar: pada cerita, pada diri sendiri, dan pada keheningan. Di saat gadget menuntut kita terus terkoneksi, membaca justru mengajarkan arti disconnect yang sesungguhnya, bukan menjauh dari dunia, tapi kembali menemukan kedamaian di dalam diri.
Keseimbangan antara waktu layar dan waktu membaca adalah kunci kesehatan mental masa kini. Tidak ada yang salah dengan teknologi, selama kita menggunakannya secara bijak. Namun, membiarkan diri larut dalam dunia digital tanpa jeda berarti kehilangan kesempatan untuk merasakan kedalaman yang hanya bisa diberikan oleh halaman-halaman buku.