Pada Mei 2018, Presiden Joko Widodo sempat menerima perwakilan Aksi Kamisan. Pertemuan itu memberi harapan, namun tidak berbuah kebijakan konkret. Hingga akhir pemerintahannya, penyelesaian kasus HAM berat masih sebatas wacana.
Pemerintah sering berdalih soal kendala administratif dan hukum, seolah-olah kompleksitas birokrasi menjadi alasan untuk tidak mengambil langkah berani. Sementara itu, para pelaku pelanggaran HAM masih bebas, bahkan sebagian menduduki posisi strategis dalam pemerintahan maupun militer.
Dengan kata lain, negara mengakui keberadaan Aksi Kamisan, tetapi tidak menanggapi substansi tuntutan mereka secara serius.
Meski terus diabaikan, Aksi Kamisan tidak berhenti. Konsistensi mereka menjadi inspirasi. Tidak hanya di Jakarta, aksi serupa kini lahir di kota-kota lain seperti Yogyakarta, Bandung, Semarang, hingga Malang. Gerakan ini menunjukkan bahwa meski suara korban sering diredam, ingatan dan tuntutan keadilan tidak bisa dibungkam.
Aksi Kamisan juga mengajarkan satu hal penting yakni demonstrasi tidak harus gaduh untuk bermakna. Keheningan bisa lebih nyaring daripada teriakan, terutama ketika ia mewakili luka kolektif bangsa yang belum sembuh.
Aksi Kamisan adalah cermin kesabaran dan keteguhan rakyat kecil melawan lupa. Ia bukan sekadar aksi mingguan, melainkan simbol perjuangan panjang untuk keadilan yang masih terabaikan. Ironisnya, justru aksi yang paling damai inilah yang paling sering diabaikan oleh pemerintah.
Pertanyaan yang harus terus kita ajukan adalah "sampai kapan?"
Sampai kapan keluarga korban harus berdiri diam di bawah terik matahari dan hujan, menunggu negara menepati janji?
Selama jawabannya belum datang, Aksi Kamisan akan tetap ada sebagai pengingat bahwa keadilan di negeri ini masih menjadi hutang yang belum dibayar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI