Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengenal Aksi Kamisan, "Demo Sopan" yang Tak Pernah Ditanggapi Serius

4 September 2025   07:12 Diperbarui: 4 September 2025   07:12 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah riuhnya demonstrasi di berbagai penjuru Indonesia, ada satu bentuk aksi yang unik sekaligus kontras dengan gambaran unjuk rasa pada umumnya. Ketika sebagian aksi massa disorot karena kericuhan atau kerusakan fasilitas umum, ada sekelompok orang yang sejak 2007 memilih cara berbeda: berdiri diam, berpakaian serba hitam, dan memegang payung hitam di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis sore. Inilah yang dikenal sebagai Aksi Kamisan, sebuah tradisi protes yang disebut-sebut sebagai "demo sopan", tetapi ironisnya tak pernah benar-benar digubris secara serius oleh pemerintah.

Aksi Kamisan lahir pada 18 Januari 2007, diprakarsai oleh tiga keluarga korban pelanggaran HAM berat yakni Maria Catarina Sumarsih (ibu korban tragedi Semanggi), Suciwati (istri Munir, aktivis HAM yang dibunuh secara misterius), dan Bedjo Untung (penyintas peristiwa 1965). Mereka tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK).

Pilihan hari Kamis bukan kebetulan. Ia menjadi simbol konsistensi, sebuah janji bahwa setiap pekan para korban dan keluarga akan hadir menagih keadilan. Payung hitam yang selalu mereka bawa melambangkan duka mendalam, perlawanan terhadap pelupaan, dan penolakan atas impunitas.

Baju hitam, payung hitam, dan diam. Itulah identitas Aksi Kamisan. Tidak ada teriakan lantang, tidak ada orasi berapi-api, apalagi kekerasan. Keheningan menjadi bahasa perlawanan, dan hitam menjadi warna solidaritas. Warna itu merepresentasikan kesedihan yang tak pernah usai, tapi juga kekuatan untuk melawan kelupaan dan ketidakadilan.

Meskipun aturan berpakaian tidaklah mutlak, tradisi menggunakan hitam kini melekat kuat sebagai ciri khas Aksi Kamisan. Bagi banyak orang, hadir dengan pakaian hitam adalah bentuk penghormatan sekaligus tanda solidaritas.

Selama hampir dua dekade, tuntutan Aksi Kamisan tidak berubah. Mereka menagih negara untuk:

Menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu (Trisakti, Semanggi, Mei 1998, Munir, Tanjung Priok, Talangsari, dan lainnya).

Mengakhiri impunitas bagi pelaku yang hingga kini masih bebas.

Menjamin pemulihan hak-hak korban dan keluarganya.

Tuntutan ini ditujukan langsung kepada pemerintah, DPR, Komnas HAM, hingga Kejaksaan Agung. Namun, meski berganti rezim dari Megawati, SBY, Jokowi, hingga kini Prabowo, respons negara tetap berjalan lamban. Yang terdengar lebih sering hanyalah janji, bukan aksi nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun