Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Renungan tentang Kehilangan dan Kesederhanaan setelah Membaca Buku Norwegian Wood dari Haruki Murakami

19 Agustus 2025   09:50 Diperbarui: 19 Agustus 2025   09:50 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: images.tokopedia.net

Membaca Norwegian Wood karya Haruki Murakami ibarat memasuki sebuah lanskap emosional yang sunyi, penuh kabut, dan sesekali diterangi cahaya lembut dari kejernihan perasaan manusia. Novel ini bukan sekadar cerita cinta, melainkan sebuah perjalanan batin tentang bagaimana manusia berhadapan dengan kesepian, kehilangan, dan pencarian arti hidup. Meski banyak memuat adegan yang vulgar, Murakami berhasil menyajikannya dengan bahasa yang tetap puitis, penuh nuansa, dan justru memperkaya narasi, bukan sekadar sensasi.

Di balik keindahan bahasanya, saya menemukan pelajaran-pelajaran berharga yang terasa relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Menjadi Biasa Saja adalah Daya Tarik yang Sesungguhnya

Tokoh utama, Toru Watanabe, bukanlah sosok yang gemerlap atau heroik. Ia tidak digambarkan sebagai pria tampan, karismatik, atau luar biasa. Sebaliknya, Toru hanyalah pemuda yang menjalani hidup sebagaimana adanya, tanpa ekspektasi berlebihan pada masa depan. Namun justru dalam kesederhanaannya itu, ia menemukan ruang yang tak dimiliki banyak orang: ketulusan.

Orang-orang di sekitarnya merasa nyaman berada di dekatnya, karena Toru tidak berpura-pura. Ia hadir sebagai dirinya sendiri, lengkap dengan kelemahan dan kebiasaannya yang sederhana. Dari sini saya belajar bahwa tidak ada salahnya menjadi "biasa saja." Dunia seringkali mendorong kita untuk tampil istimewa, berbeda, dan mencolok. Tapi Murakami, lewat Toru, menunjukkan bahwa ketenangan, kejujuran, dan keaslian justru bisa menjadi daya tarik yang paling tulus.

Kehilangan adalah Luka yang Tidak Mudah Sembuh

Tema kehilangan hadir begitu kuat dalam novel ini. Toru menyaksikan kepergian orang-orang yang dicintainya: sahabat dekatnya yang bunuh diri, kekasihnya Naoko yang larut dalam kegelapan batin hingga akhirnya mengakhiri hidupnya. Kehilangan digambarkan bukan sebagai sesuatu yang bisa segera ditinggalkan di belakang, melainkan luka yang akan terus mengikuti dan membentuk perjalanan hidup seseorang.

Naoko adalah gambaran bagaimana trauma dan kesedihan yang tidak pernah ditangani bisa menelan seseorang hingga habis. Ia terjebak dalam ruang batin yang gelap, dan ketika dukungan yang datang tidak cukup ia terima, ia memilih jalan akhir yang tragis. Di sisi lain, Toru menunjukkan kemungkinan yang berbeda. Ia juga terluka, ia juga terpuruk, tetapi ia perlahan belajar membuka hati. Ia mau menerima pertolongan, mau memberi kesempatan pada cinta dan perhatian orang lain untuk masuk ke hidupnya.

Pelajaran yang lahir dari kisah ini begitu membekas: kehilangan memang akan selalu meninggalkan luka, tapi kita punya pilihan apakah akan tenggelam di dalamnya atau mencoba berjalan bersama luka itu, sembari memberi ruang bagi pemulihan.

Kesehatan Mental Tidak Bisa Diabaikan

Hal yang juga kuat dari Norwegian Wood adalah penekanan pada pentingnya kesehatan mental. Murakami, tanpa harus menggurui, menyingkap realitas bahwa jiwa manusia bisa rapuh. Naoko adalah simbol nyata dari seseorang yang tidak mendapat penanganan yang tepat, meski ada upaya orang di sekelilingnya untuk mendukung. Novel ini membuka mata bahwa masalah mental bukanlah sekadar "kurang kuat iman" atau "kurang tegar," melainkan sesuatu yang nyata, serius, dan butuh perhatian.

Kesehatan mental tidak bisa dianggap remeh. Dukungan lingkungan, ketersediaan ruang untuk berbagi, serta penanganan yang tepat dapat menjadi penentu apakah seseorang mampu bertahan atau menyerah pada kegelapannya sendiri. Membaca kisah Naoko, saya diingatkan betapa kita perlu lebih peka, lebih penuh empati, dan tidak menyepelekan luka yang tidak terlihat.

Pada akhirnya, Norwegian Wood bukan hanya kisah cinta segitiga, bukan pula sekadar cerita tentang seks dan kehilangan. Ia adalah sebuah cermin tentang bagaimana manusia bergulat dengan hidup. Murakami mengajak pembaca menyadari bahwa rapuh itu wajar, bahwa menjadi biasa saja tidak mengurangi nilai diri, dan bahwa kehilangan memang menyakitkan tetapi bukan alasan untuk berhenti hidup.

Membaca novel ini membuat saya merasa lebih kuat, bukan dalam arti pura-pura tegar, melainkan dalam arti lebih berani menerima kelemahan. Ada kekuatan dalam mengakui bahwa kita rapuh. Ada keindahan dalam menjalani hidup tanpa harus berlebihan. Dan ada harapan dalam setiap luka, selama kita tidak menutup hati untuk sembuh.

Dengan bahasa yang lembut dan penuh nuansa, Norwegian Wood meninggalkan bekas yang mendalam. Ia mengajarkan bahwa perjalanan hidup bukanlah soal menjadi luar biasa, melainkan soal keberanian untuk terus melangkah, bahkan ketika hati masih penuh luka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun