Dalam perjalanan hidup manusia, ada salah satu fase yang paling sulit untuk dipahami yakni detik-detik menjelang kematian. Banyak hal yang terjadi pada tubuh dan pikiran seseorang ketika hidupnya perlahan meredup. Namun, di antara berbagai fenomena medis yang tercatat, ada satu kejadian yang begitu misterius sekaligus menyentuh. Fenomena itu bernama terminal lucidity.
Terminal lucidity adalah kondisi langka ketika seseorang yang berada dalam keadaan kritis, bahkan yang selama berbulan atau bertahun-tahun tidak lagi bisa berpikir jernih akibat alzheimer, demensia, stroke, tumor otak, atau gangguan mental berat, mendadak mendapatkan kembali kesadarannya. Ia bisa berbicara dengan jelas, mengenali orang-orang terdekatnya, mengingat kenangan lama, bahkan melakukan aktivitas sederhana yang sebelumnya mustahil.
Bayangkan seorang ayah yang sudah lama terjebak dalam kebisuan, matanya kosong, dan tubuhnya hanya terbaring. Pada suatu malam, ia tiba-tiba membuka mata, memanggil nama anaknya, meminta segelas air, lalu bercerita sebentar tentang masa kecil. Keluarga pun diliputi harapan: mungkinkah ia membaik? Namun, beberapa jam kemudian, ayah itu mengembuskan napas terakhirnya. Seolah, kesadaran yang tiba-tiba muncul hanyalah hadiah singkat sebelum ia berpulang.
Fenomena ini sering membuat orang yang menyaksikannya diliputi perasaan campur aduk. Ada keajaiban yang menenangkan, namun juga kesedihan mendalam karena momen kejernihan itu justru menjadi tanda perpisahan. Keluarga kerap mengira pasien sudah sembuh, padahal kenyataannya, terminal lucidity adalah isyarat bahwa kematian semakin dekat.
Hingga hari ini, sains masih belum bisa memberikan jawaban pasti tentang bagaimana fenomena ini terjadi. Beberapa peneliti berpendapat bahwa perubahan metabolisme otak atau aliran darah menjelang kematian mungkin membuka ruang singkat bagi kesadaran untuk kembali. Ada pula yang meyakini tubuh melepaskan zat kimia seperti dopamin atau endorfin dalam jumlah besar, menciptakan momen kejernihan di tengah kondisi yang rapuh. Penelitian lain menemukan lonjakan aktivitas gelombang otak gamma, gelombang yang berkaitan erat dengan kesadaran dan memori, yang muncul seakan memberi kesempatan terakhir bagi otak untuk "menyala" sebelum padam. Namun, semua itu baru sebatas hipotesis. Tidak ada teori yang mampu menjelaskan fenomena ini sepenuhnya.
Sejarah mencatat bahwa terminal lucidity telah diamati sejak lebih dari tiga abad lalu. Walau tidak diakui sebagai istilah medis resmi, banyak tenaga kesehatan di seluruh dunia mengaku pernah menyaksikannya. Dalam sebuah survei, sekitar tujuh dari sepuluh tenaga medis menyatakan mereka pernah melihat pasien yang tiba-tiba kembali sadar menjelang ajal. Meski begitu, fenomena ini tetap langka. Sebuah penelitian menemukan bahwa hanya enam dari 338 kasus kematian yang memperlihatkan tanda-tanda terminal lucidity. Angka ini menunjukkan bahwa kejadian ini tidak bisa diprediksi, tidak terjadi pada semua pasien, dan hanya dialami oleh sebagian kecil orang, terutama mereka yang memiliki gangguan otak berat.
Lebih dari sekadar sebuah fenomena biologis, terminal lucidity menghadirkan makna yang dalam. Bagi keluarga, momen itu sering menjadi kesempatan terakhir untuk mendengar ucapan cinta, menerima ungkapan terima kasih, atau sekadar melihat tatapan penuh kesadaran yang telah lama hilang. Kalimat sederhana seperti "aku mencintaimu" atau "jaga dirimu baik-baik" bisa menjadi bekal batin yang memberi kekuatan untuk melepas kepergian orang yang dicintai.
Dalam perspektif spiritual, terminal lucidity sering dianggap sebagai bentuk pamitan terakhir. Seakan-akan jiwa diberi kesempatan sebentar untuk menyampaikan pesan, menyatukan kembali relasi yang sempat hilang, atau memberikan kedamaian kepada orang-orang yang ditinggalkan. Tidak sedikit keluarga yang merasa bahwa momen ini adalah anugerah Tuhan, sebuah penghiburan agar mereka tidak ditinggalkan dalam diam sepenuhnya.
Fenomena ini juga memberi kita sebuah pelajaran berharga tentang misteri kehidupan. Terminal lucidity mengingatkan bahwa meski tubuh melemah, otak rusak, atau kesadaran memudar, selalu ada ruang kecil yang bisa menyalakan kembali api kemanusiaan, walau hanya sesaat. Ia menunjukkan bahwa kehidupan bukan sekadar soal fungsi biologis, melainkan juga menyangkut makna, cinta, dan hubungan antar manusia.
Mungkin inilah yang membuat terminal lucidity begitu menggugah, karena ia berada di persimpangan antara sains dan spiritualitas, antara misteri otak manusia dan kedalaman hati. Ia memperlihatkan bahwa perpisahan tidak selalu hanya berupa kesunyian, melainkan bisa datang dengan tatapan terakhir, kata-kata sederhana, atau senyuman yang meninggalkan jejak seumur hidup.
Pada akhirnya, terminal lucidity bukan sekadar fenomena medis, melainkan cermin kecil dari betapa kompleks dan misteriusnya hidup manusia. Ia mengajarkan bahwa meskipun kematian tak bisa dihindari, kehadiran yang singkat menjelang akhir bisa membawa makna besar. Sebuah pengingat bahwa hidup layak dijalani dengan penuh cinta, karena pada detik-detik terakhir, cinta itulah yang sering kali muncul sebagai pesan terakhir sebelum seseorang benar-benar pergi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI