Mohon tunggu...
harry budiyanto
harry budiyanto Mohon Tunggu... -

Pengamat apa saja yang lagi "hot" dan menarik. Belajar menulis untuk mengasah otak dan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya Ingin Menjadi Koruptor, Sebuah Resensi Film "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)"

26 April 2010   01:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35 1343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul Film : Alangkah Lucunya (Negeri Ini) Sutradara : Deddy Mizwar Pemain : Reza Rahadian, Deddy Mizwar, Slamet Raharjo, Jaja Miharja, Ratu Tika Bravani, Asrul Dahlan, Tio Pakusadewo Durasi : 115 Menit Film ini dibuka dengan menampilkan kondisi lalu lintas Jakarta yang semrawut. Muluk (Reza Rahadian), tokoh utama dalam film ini, begitu entengnya melewati rel kereta api dengan kondisi kereta api sedang berjalan menuju ke arahnya. Kehidupan pasar tradisional ditampilkan apa adanya. Banyaknya peramal, penjual obat, dan sejenisnya seolah ingin menggambarkan keputusasaan sebagian besar masyarakat menghadapi kondisi saat ini dan mencoba mencari "hiburan" berupa janji-janji kan berubahnya nasib mereka. Kondisi kumuh pasar tradisional ditampilkan secara apik. Puncaknya adalah tampilnya para pencopet cilik yang terampil menjalankan aksinya. Di sinilah awal mula film ini bergulir. Ketika tertangkap tangan, sang pencopet kecil yang kemudian diketahui bernama Komet, diberi nasehat oleh Muluk untuk meminta baik-baik ketika membutuhkan uang. Dengan enteng Komet berkata,"Saya kan pencopet bukan peminta-minta." Cerita kemudian bergulir dengan dialog-dialog berbobot antara Deddy Mizwar yang memerankan ayah Muluk dan Jaja Miharja sebagai calon mertua Muluk plus sosok pak Haji yang diperankan Slamet Rahardjo. Tema dialog adalah soal perlu tidaknya pendidikan dengan mengambil contoh kondisi Muluk, seorang sarjana manajemen yang sedang luntang-lantung mencari perkerjaan selama 2 tahun dibanding anak-anak Jaja Miharja yang sukses sebagai pedagang meskipun hanya tamat SMU. Realita kehidupan di masyarakat yang "sakit" dipotret Deddy Mizwar dalam film ini secara lugas. Potret Jupri, calon anggota DPR yang diperankan Edwin "Super Bejo", seolah mencoba "menyindir" sebagian calon anggota legislatif yang terkesan sedang mencari "pekerjaan" dengan diiringi bahasa klise tentang perjuangan untuk rakyat. Begitu juga dengan gambaran Pipit (Ratu Tika Bravani) yang tenggelam dengan mimpi menjadi pemenang kuis dan Samsul (Asrul Dahlan), seorang sarjana pendidikan yang terlalu lama menjadi pengangguran berusaha menghibur diri dengan main "gaple" tanpa mengenal waktu. Kehidupan keluarga, Pak Haji yang diperankan Slamet Rahardjo, seorang pensiunan Depag dengan istri yang sibuk dengan dirinya sendiri (diperankan Rina Hasyim) plus Pipit yang sibuk mengamati acara kuis di TV. Pendidikan menjadi tidak penting seolah dikuatkan dengan potret para sarjana pengangguran semacam Muluk, Pipit, dan Samsul. Cerita beralih menjadi heroik tatkala ketiga sarjana pengangguran ini mendidik sekitar 20-an pencopet yang dikoordinir Jarot (Tio Pakusadewo). Meskipun terkesan mengada-ada bahwa ketiga sarjana tersebut mengajar dengan biaya dari 10% hasil mencopet, namun kekuatan dialog-dialog segar, menghibur, dan sarat makna dalam proses "pendidikan" bagi pencopet anak-anak merupakan inti dari film ini. Di sinilah kekuatan film ini. Lihat saja dialog menarik antara pencopet dengan Samsul dan Muluk tentang penting-tidaknya suatu pendidikan. "Apa gunanya pendidikan bagi pencopet?". Sebuah pertanyaan lugu dan mewakili pertanyaan dari kaum yang termajinalkan. Jawabannya pun sungguh di luar dugaan. Samsul, seorang sarjana pendidikan yang tidak yakin bahwa pendidikan diperlukan, menjawab pertanyaan tersebut dengan gaya satir. "Pencopet perlu pendidikan. Dengan mempunyai pendidikan, mereka bisa bekerja di kantor. Dengan demikian mereka mempunyai kesempatan untuk mencopet "brankas" kantor dan akan mendapatkan hasil yang jauh lebih besar dari apa yang mereka lakukan selama ini. Status mereka bukan menjadi pencopet lagi. Mereka akan naik kelas menjadi koruptor" Demikian kira-kira jawaban Samsul yang membuat 20-an pencopet menjawab serempak,"Saya ingin menjadi koruptor". Film ini juga kaya dengan berbagai teknik mencopet di pasar, mall, dan angkutan kota. Deddy Mizwar sampai perlu mengundang konsultan pencopet untuk membuat adegan-adegan mencopet tampak riil. Organisasi pencopet pun dikupas cukup cerdik. Komet adalah koordinator copet di pasar, Glen koordinator copet di Mall, dan "Kipli" koordinator copet di angkutan umum. Bos besar pencopet diperankan Tio Pakusadewo dengan sangat baik. Tidak lupa mafia copet ini digambarkan juga berada di bawah oknum aparat "penegak hukum". Jeritan ketidakadilan mampu dibawakan Samsul dengan sangat baik. Tangisannya melihat ketidakadilan, kepedihan, dan keputusasaannya mampu menghipnotis penonton. Koruptor telah merampas hak mereka. Koruptor telah membuat mereka sengsara, namun tidak banyak orang yang menyadarinya. Kalaupun mengetahui, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah menerima kenyataan. Jeritan kepedihan juga mampu dibawakan oleh Deddy Mizwar dan Slamet Rahardjo ketika menerima kenyataan bahwa anak-anaknya yang disekolahkan dan dididik dengan uang halal kemudian mendapatkan nafkah dari uang haram (uang hasil mencopet). Film ini tidak diakhiri dengan "happy ending" ala film-film Bollywood. Samsul kembali main gaple, Pipit tenggelam di alam mimpinya, Muluk bahkan ditahan satpol PP. Begitu juga anak didik mereka, ada yang meneruskan profesinya sebagai pencopet, namun ada sebagian yang mencoba menjadi pengasong. Kedua profesi yang sama-sama beresiko. Hampir sama dengan koruptor sebenarnya. Bedanya, jika koruptor mengalami nasib "sial" tertangkap, mereka masih punya sisa hasil korupsi yang bisa dipergunakan untuk hidup "gagah". Film yang merupakan refleksi sosial dan mencoba menertawakan diri sendiri ini merupakan sindiran tentang realita yang hidup di masyarakat. Meskipun Deddy Mizwar menyatakan tidak bermaksud menyindir siapapun, namun film ini jelas merupakan sindiran kepada pemerintah. Untung saja kita sudah hidup di era demokrasi. Jika tidak tentu akan banyak adegan yang dipotong oleh LSI (Lembaga Sensor Indonesia). Film Deddy Mizwar ini dipersiapkan sangat matang. Kurang lebih digodok selama 9 tahun dan mengalami perubahan 6 kali. Deddy Mizwar benar-benar tidak main-main dengan filmya. Bahkan 70% pemainnya adalah benar-benar anak jalanan dengan dukungan 9 pemain peraih piala Citra. Proses "casting" yang ditangani langsung oleh orang-orang profesional seperti Deddy Mizwar bersama-sama Slamet Rahardjo membuat film ini menjadi terjaga mutunya. Namun demikian catatan kecil yang cukup mengganggu adalah adanya "pesan sponsor" yang terkesan dipaksakan dan alur cerita yang kurang "mulus". Adegan Muluk yang beberapa kali minum minuman produk sponsor tidak mencerminkannya sebagai seorang pengangguran dan anak seorang penjahit . Namun demikian, di tengah film produksi dalam negeri yang ber-genre horor plus berbumbu mesum, secara umum film "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)" layak untuk ditonton.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun