Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Kenapa Dinding Penahan Tanah di Bandara Soetta Rubuh...

27 Februari 2018   14:25 Diperbarui: 28 Februari 2018   05:58 8063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1 : Beban-beban yang bekerja di dinding turap

Pada tanggal 5 Pebruari 2018, salah satu dinding penahan tanah setinggi kira-kira 4 (empat) meter di jalan perimetri selatan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang rubuh dan menimpa satu buah mobil yang sedang melintas dan jalan tersebut. Setelah beberapa waktu setelah kejadian tersebut, akhirnya dari kementerian PUPR memerintahkan pihak kontraktor proyek tersebut untuk membongkar semua dinding penahan tanah yang ada di kawasan bandara Soetta (sumber).

Bagi masyarakat awam pasti kemudian bertanya-tanya, kenapa harus dibongkar ?, dimana letak salahannya ?, kenapa dinding beton turap yang tidak ada lubang-lubang buangan air lalu dijadikan "kambing hitam" sebagai dinding turap yang salah disain ? apakah benar hanya karena hal ini ?, dinding beton setebal itu bisa ambruk seketika di saat curah hujan sedang tinggi? 

Dan banyak tanda tanya dari masyarakat awam tentang hal ini. Semoga tulisan ringan ini, bisa memberikan gambaran umum tentang bagaimana konstruksi dinding penahan tanah atau biasa disebut konstruksi turap tersebut bisa rubuh.

BEBAN DAN DISAIN DINDING TURAP

Besarnya beban atau tekanan tanah pada dinding turap sangat tergantung jenis tanah yang ditahannya dan beban-beban luar yang bekerja di atas konstruksi tersebut. Jika tanah tersebut memiliki propertis engineering baik, maka dinding turap akan menerima beban kecil, sebaliknya jika tanah tersebut memiliki propertis engineering lebih buruk maka beban yang harus ditahan menjadi lebih besar. 

Propertis engineering tanah yang biasa digunakan untuk menyatakan baik atau buruk suatu jenis tanah untuk konstruksi adalah 1. sudut geser internal tanah --satuannya : derajat- atau biasa dilambangkan dengan phi dan 2. kohesi atau lekatan tanah --satuannya: kPa (kN/m2)- dilambangkan dengan c.

Nilai phi dan c, didapatkan dari hasil pengujian sampel tanah yang dikerjakan di laboratorium mekanika tanah. Jenis pengujian dikenal dengan uji triaxialuntuk tanah berbutir halus (lanau/lempung), dan jika tanah tersebut adalah jenis berbutir kasar atau biasa disebut tanah pasir, maka ujinya adalah uji geser langsung (direct shear). 

Jika diperlukan suatu analisa engineering lebih advance, maka dari uji-uji tersebut bisa didapat juga paramater-parameter modulus elastisitas tanah untuk analisa tegangan-regangan (stress-strain analysis). Selain uji laboratorium, untuk mendapatkan propertis engineering tanah bisa juga dilakukan test di tempat atau insitu test, misalnya dengan menggunakan standard penetration test (N-SPT), sondir (cone penetration test), vane shear test dan atau juga pressuremeter test. Dari test-test insitu tersebut juga bisa dikonversikan untuk mendapatkan nilai phidan c, walaupun dengan metode empirik atau perkiraan dari kumpulan data-data sebelumnya.

 Selain nilai phi dan c, paramater untuk disain engineering adalah berat unit tanah atau biasa dinotasikan sebagai gamma (g) satuannya adalah kN/m3. Jika ada kasus tanah tersebut ada potensi terendam air (jenuh), maka perlu jika diketahui nilai g tanah tersebut saat kondisi basah dan saat terendam.

Parameter-parameter di atas sangat penting diketahui dan benar sesuai kondisi real di lapangan pada saat proses disain engineering akan dilakukan, karena jika salah memasukan parameter-parameter tersebut maka hasilnya juga pasti tidak tepat, walaupun misal kita sudah menggunakan alat bantu software geotechnic yang paling canggih sekalipun. Kita kenal istilah garbage in-garbage out, jika masukan (input) data kita sampah maka didapatkan keluaran (output) sampah juga.

Setelah mengetahui paramater-parameter engineering di atas, maka tahap selanjutnya adalah harus memahami tentang ilmu mekanika tanah khususnya tekanan tanah lateral, ini adalah ilmu dasar yang pasti dipelajari oleh semua sarjana teknik sipil dimanapun juga seperti di gambar 1. Massa tanah sesuai dengan hukum Newton akan mempunyai arah vertikal ke bawah sesuai dengan teori gravitasi kita sebut sebagai beban geo-statik, namun jika di depan massa tanah tersebut kosong, baik karena digali atau adanya dinding turap maka gaya arah vertikal tersebut juga akan memberikan arah gaya horisontal yang biasa disebut tekanan tanah lateral atau tekanan arah horisontal.

Jadi tekanan arah horisontal inilah yang memberikan beban ke dinding turap. Berapa besarnya ? Bagi geoteknik engineer untuk kasus-kasus sederhana, secara umum menggunakan teori dari Rankine, dimana besarnya tekanan tanah lateral adalah merupakan perkalian dari berat tanah (geo-statik) dikalikan dengan suatu nilai yakni koefisien tekanan tanah aktif (Ka). 

Nilai berat tanah adalah g dikalikan kedalaman titik referensi terhadap permukaan tanah. Semakin dalam titik referensi atau titik tinjauan terhadap permukaan tanah, maka akan semakin besar nilainya. Sedangkan nilai Kaadalah fungsi trigonometeri terbalik dari nilai phi. Jika nilai phisemakin besar (tanah bagus) maka nilai Ka semakin kecil, sebaliknya jika nilai phi kecil (tanah buruk) maka nilai Ka semakin besar. Bagaimana dengan nilai c ? Kohesi c adalah lekatan antar butiran tanah dikarenakan sifat-sifat kimia antar butiran tanah.

Untuk tanah butiran kasar (pasir), maka nilai c-nya akan kecil, tapi untuk jenis tanah silt-clay nilainya c-nya  secara umum akan lebih besar. Kohesi tanah akan mengurangi besarnya tekanan lateral tanah yang terjadi. Beberapa jenis tanah mempunyai nilai kohesi yang cukup besar misal jenis tanah merah, jika ada suatu bukit borrow tanah merah walaupun digali hampir tegak untuk selama kurun waktu tertentu tidak runtuh, walaupun mungkin nilai phi dari tanah tersebut tidak terlalu besar.

Bagaimana dengan adanya air ? Tantangan terbesar dari geoteknik adalah adanya air di tanah, karena hadirnya air akan mempengaruhi secara langsung perilaku tanah dan juga properties engineeringnya. Ini sangat berbeda dengan material yang lain, misal beton. Dimana propertis engineering dari beton tidak akan berubah signifikan jika misalnya dalam kondisi basah atau bahkan saat terendam air sekalipun. Di dalam teori geoteknik kita mengenal dengan konsep kuat geser tanah (shear strength), agak berbeda dengan material lain. 

Misalnya beton, maka yang paling dominan digunakan untuk perhitungan adalah kuat tekannya (compressive strength), jika material besi atau plastik sintetis maka yang digunakan adalah kekuatan tariknya (tensile strength). Kuat geser tanah, seperti penjelasan sebelumnya disumbangkan oleh dua komponen yakni besarnya nilai fungsi phi dan ditambahkan nilai c sesuai teori yang dikembangkan oleh Mohr-Coulomb. Nilai c relatif tidak terpengaruh oleh adanya air, tapi komponen phi tidaklah demikian. Besar kuat gesar tanah yang diberikan dari fungsi phi adalah perkalian dari sigma efektif s' dengan nilai tangensial phi. 

Sigma efektif s' adalah tekanan (berat) tanah dititik tinjauan (s total) dikurangkan dengan nilai tekanan air pori (pore water pressure) dilambangkan dengan u. Nilai u sangat tergantung dengan ada atau tidaknya air massa tanah tersebut. Nilai tekanan air pori bersifat mengurangi berat tanah geostatik. Sama seperti menghitung berat tanah, nilai u adalah gammaair gw dikalikan kedalaman titik referensi terhadap permukaan air (ground water level). Di titik referensi yang sama jika semakin tinggi muka air tanah yang salah satu disebabkan oleh adanya air hujan yang tinggi, maka semakin besar nilai u-nya. 

Semakin besar nilai u, maka komponen sumbangan fungsi phi juga menjadi kecil. Atau jika sebelumnya nilai sumbangan besar saat tidak air, tapi saat ada air nilai nya menjadi kacil. Atau dengan kata lain kuat geser tanah di titik tinjuan tersebut turun, disebabkan oleh adanya permukaan air yang semakin tinggi. 

Selain itu juga, genangan air di belakang dinding turap akan memberikan tambahan beban akibat air atau biasa disebut tekaan hidrostatis yang arah nya baik vertikal maupun lateral nilai nya sama persisi, tidak seperti tanah yang harus dikalikan dulu dengan nilai koefisien tekanan tanah aktif Ka.

DINDING TURAP OVERLOAD

Bagi yang tidak biasa dengan terminologi-terminologi geoteknik, besar kemungkinan akan agak kesulitan memahami proses mekanika di atas. Untuk lebih mempermudah penjelasan di atas, penulis mencoba menghitung dan membandingkan berapa besar tambahan beban suatu dinding turap jika di belakang dinding sepenuh menjadi jenuh dengan air dari yang sebelumnya kering. 

Kita ambil kasus di turap yang rubuh, tinggi 4 m dengan perkiraan paling buruk yakni saat kejadian tanah di belakang jenuh atau elevasi muka air tanah ada di puncak tembok turap. Dengan sudut phi sebesar 250, dan diasumsikan nilai g basah 18 kN/m3, g jenuh 20 kN/m2 dan g air 10 kN/m2. Dengan melihat gambar 1, kita bisa hitung berdasarkan penjelasan di atas, didapat hasil perhitungan sebagai berikut.

Saat kondisi tanah basah nilai beban total adalah :

Pa = 0.5*Ka*g basah*Ho2

Pa = 0.5*0.41*18*42

Pa = 59.04 kN/m'.

Jika saat tanah di belakang dinding sepenuhnya jenuh maka beban totalnya :

Pa' = 0.5*Ka* (g jenuh*Ho - g air*hw)*Ho

Pa' = 0.5*0.41*(20*4 -10*4)*4

Pa' = 32.8 kN/m'

Pa = Pa' + Pw

Pa = 32.8 + 0.5*g air*hw2

Pa = 32.8 + 0.5*10*42

Pa = 32.8 + 80

Pa = 112.8 kN/m'.

Dari hitungan sederhana di atas, artinya dinding turap tersebut telah mendapatkan beban 92 % lebih besar akibat adanya genangan air di belakang dinding turap ! Jadi bisa dibayangkan, jika misal engineer tersebut mendisain beban tekanan tanah hanya dalam kondisi basah (Pa : 59.04 kN/m') dan mengambil nilai keamanan struktur kurang lebih 1.6 (angka yang umum digunakan oleh geoteknik engineer).

Dengan adanya tambahan beban 92 % akibat air, akan mudah diprediksikan dinding turap tersebut akan rubuh atau collaps seketika secara struktural, karena angka keamanan sistemnya telah berubah menjadi di bawah satu. Untuk itu, jika memang beban air diperhitungkan di dalam struktur turap, maka dimensinya juga akan menjadi harus lebih besar dan lebih kuat sesuai dengan adanya penambahan beban akibat air tersebut.

Sewajarnya setelah mengetahui besarnya gaya yang bekerja di dinding turap secara akurat, maka tahap berikutnya adalah mendisain dimensi dan struktur dinding turap tersebut, analisa tergantung dari jenis dinding turapnya : apakah gravitasi, cantiler, L-shape, sheet pile dan lain-lain. Jika menggunakan beton bertulang, maka momen dan gaya geser harus diperhitungan saat merancang tulangan betonnya. Harus dichek juga berbagai potensi kegagalan yakni gagal geser, gagal guling, gagal daya dukung tanah dasar dan lain-lain (lihat gambar 2).

Gambar 2 : Bentuk-bentuk keruntuhan dinding panahan tanah (turap)
Gambar 2 : Bentuk-bentuk keruntuhan dinding panahan tanah (turap)
SARAN

Jika memang seluruh struktur didisain dengan angka keamanan seperti itu, tentu menjadi permasalahan besar. Lalu apakah dengan melakukan pembongkaran seluruh diding turap itu adalah satu-satunya jalan perbaikan ? Mestinya tentu tidak demikian. Sebainya mulailah dengan hati-hati memeriksa seluruh dokumen perencanaan dan pelaksanaan, demikian juga dokumen as-built drawing-nya dari pelaksana. 

Ditelusuri secara cermat, pasti tidak semua kondisi dinding turap tidak sama seperti turap yang telah rubuh tersebut.  Keputusan Kementerian PUPR untuk membongkar, bisa jadi adalah keputusan buru-buru, walaupun hal tersebut juga bisa dipahami dikarenakan tekanan publik yang luar biasa besar. Ada beberapa saran untuk usaha terjadinya kecelakaan konstruksi susulan di konstruksi  dinding turap yang lain dengan :

  • Jika memang benar masalahnya adalah salah hitung dengan tidak mempertimbangkan beban air. Maka ada dua langkah yang bisa ditempuh, perbaiki sistem drainasi permukaan di atas struktur turap dan perbaiki sistem dinding tanah yang kedap dan masif tersebut dengan melakukan bor coring untuk sistem sub-drain dengan diberikan elemen weephole atau horizontal drainage secara proper dan benar di maksimal di 1/3 tinggi dinding turap. Tujuannya : sedemikian rupa sehingga agar tidak terjadi genangan di belangkang turap, agar tidak terjadi lagi tambahan beban hidrostatik. Saran ini tidak hanya berlaku untuk dinding turap di lingkungan Bandara Soetta saja, tapi juga berlaku umum dimanapun juga (lihat gambar 3).
  • Alternatif berikut-nya adalah, memberikan perkuatan tambahan dengan menggunakan ground anchor atau soil nailing(lihat gambar 3), sehingga dinding mendapatkan tambahan kekuatan. Dan tentunya tidak semua diperlakukan sama, masing-masing section dari dinding tersebut dianalisa ulang secara hati-hati, pasti ada yang perlu ditambahkana atau mungkin sudah mencukupi dengan yang telah ada.

Gambar 3 : Turap dengan weephole, sub-drainage dan ground anchorage
Gambar 3 : Turap dengan weephole, sub-drainage dan ground anchorage
Jika memang telah diputuskan untuk dibongkar dan tidak ada alternatif lain, maka disain turap baru tersebut sebaiknya:
  • Harus selalu memperhitungan adanya beban air, baik air limpasan permukaan dan juga air tanah saat melakukan disain, walaupun sudah dibuat sistem drainasi dan/atau sub-drain yang baik. Karena budaya kita yang masih lemah di dalam pemeliharaan sarana/prasana infrastruktur khususnya sistem drainasi, sehingga sering kali drainasi yang sudah dibuat tidak bisa berfungsi secara baik sesuai disain setelah beberapa saat konstruksi tersebut selesai dikerjakan.
  • Pengawasan pelaksanaan di lapangan harus lebih diperketat, apapun struktur-nya jika telah didisain dengan baik dan benar tapi saat pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dengan disain maka akan sia-sia juga. Misal kontrol dimensi struktur, kontrol kualitas/kelas beton yang digunakan, ukuran/formasi tulangan besinya, kontrol kualitas kepadatan tanah timbunan di belakang dinding turap, sistem drainasi/sub drainasi dan lain-lain.
  • Untuk dinding turap yang langsung bersentuhan dengan jalan sempit atau aktifitas publik yang lain, sebisa mungkin menghindari penggunakan struktur turap tinggi yang monolit dan kaku. Karena jika dilihat rubuhnya turap di Perimetri Selatan Bandara Soetta tersebut, ini adalah bentuk kegagalan yang tiba-tiba atau struktural dengan massa beton yang sangat besar, hingga akhirnya mobil yang sedang melintas pun tidak sempat lagi berhenti atau menghindar (lihat gambar 4 dan 5). 
  • Harus dipertimbangkan penggunaan alternatif konstruksi turap yang jika misal memang gagal atau rubuh, tapi tidak secara struktural langsung, tapi secara gradual dari gagal arsitektural, lalu gagal secara fungsi atau gagal service, baru boleh gagal struktural. Sehingga dapat dihindari suatu kegagalan yang tiba-tiba, sehingga potensi adanya fatality dapat dihindari. Penggunaan dinding turap segmental bisa menjadi alternatif, dimana facing dari turap merupakan beton segmental kecil-kecil bukan monolit yang dihubungkan dengan material perkuatan tanah geosintetis yang tertanam di tanah timbunannya. 
  • Karena segmental, jika memang harus gagal mungkin karena suatu force majeure tertentu misalnya, maka kegagalannya (failure mode) akan gradual dan massa struktur nya tidak semasif jika menggunakan turap jenis rigid/monolit (lihat gambar 6 dan 7). Keterangan gambar 7 : bahkan masih sempat dilakukan pengamanan sementara dengan karung pasir, sebelum terjadi kegagalan lebih lanjut. Demikian juga pengunaan dinding segmental, jauh lebih ekonomis karena struktur beton lebih kecil/ringan dan umumnya tidak memerlukan pondasi dalam, hal ini dikarenakan beban yang harus diterima oleh dinding tidak sebesar jika menggunakan sistem dinding konvensional (lihat gambar 8 dan 9).

Gambar 4 : Bentuk keruntuhan turap tipe kaku/monolit (akibat gempa bumi)
Gambar 4 : Bentuk keruntuhan turap tipe kaku/monolit (akibat gempa bumi)
Gambar 5 : Bentuk keruntuhan turap tipe kaku/monolit (akibat beban hidrostatis)
Gambar 5 : Bentuk keruntuhan turap tipe kaku/monolit (akibat beban hidrostatis)
Gambar 6 : Bentuk keruntuhan turap segmental menggunakan beton panel besar
Gambar 6 : Bentuk keruntuhan turap segmental menggunakan beton panel besar
Gambar 7 : Bentuk keruntuhan turap menggunakan beton segemental kecil
Gambar 7 : Bentuk keruntuhan turap menggunakan beton segemental kecil
Gambar 8 : Gaya-gaya pada dinding turap tipe kaku/monolit
Gambar 8 : Gaya-gaya pada dinding turap tipe kaku/monolit
Gambar 9 : Gaya-gaya pada tipe turap segmental dengan perkuatan tanah
Gambar 9 : Gaya-gaya pada tipe turap segmental dengan perkuatan tanah
Demikian sekedar uraian singkat, semoga bisa membantu guna lebih memahami tentang ilmu mekanika tanah atau geoteknik struktur dinding penahan tanah (turap). Besar harapan, dengan adanya rentetan kejadian kecelakaan konstruksi ini, kita bisa menjadi sadar dan bisa belajar dari kesalahan lalu agar bisa melakukan disain, membangun dan memelihara infrastruktur kita dengan jauh lebih baik.

Penulis :

Ir. Dandung S. Harninto, MT

(Pemegang SKA G-1, HATTI Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia dan

Pengurus KADIN Indonesia Bidang Konstruksi dan Infrastruktur)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun