Bayangkan rumah kebakaran, lalu pemiliknya keluar sambil berteriak, "Tenang, saya sudah mematikan lampu ruang tamu."Â
Begitulah kira-kira publik melihat respons DPR terhadap tuntutan 17+8 rakyat.Â
Setelah gelombang demonstrasi, nyanyian "Tobat Maksiat" di depan Gedung DPR, hingga kritik keras dari berbagai kalangan, parlemen akhirnya mengumumkan enam poin keputusan yang disebut sebagai langkah konkret.
Enam Keputusan ala DPR
Isi keputusan itu, antara lain: menghentikan tunjangan perumahan Rp50 juta per anggota DPR, moratorium kunjungan kerja luar negeri, pemangkasan fasilitas komunikasi dan transportasi, penonaktifan hak keuangan bagi anggota yang dinonaktifkan partai, koordinasi dengan Mahkamah Kehormatan DPR, dan terakhir, janji memperkuat transparansi serta partisipasi publik.
Di permukaan, enam poin ini tampak seperti "kemenangan moral" bagi gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil.Â
Ada semacam bukti bahwa tekanan jalanan masih mampu memaksa DPR melakukan koreksi diri.Â
Namun, mari kita gali lebih dalam: sejauh mana keputusan tersebut menyentuh inti persoalan?
Antara Simbol dan Substansi
Jika ditelisik, sebagian besar poin menyangkut fasilitas internal DPR: tunjangan, kunker, listrik, telepon.Â
Sementara, tuntutan 17+8 rakyat berangkat dari isu jauh lebih serius: dugaan pelanggaran HAM, keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil, hingga keadilan sosial-ekonomi.Â
Pertanyaannya: apakah rakyat turun ke jalan hanya demi memotong pulsa telepon anggota DPR?