"Yang ke mal bukan tak punya duit, cuma duitnya tak punya niat."
- Rojali & Rohana: Pahlawan Nasional Tanpa Tanda Jasa (dan Tanpa Struk)
Lupakan pahlawan revolusi. Lupakan tokoh-tokoh besar negeri yang fotonya terpajang di buku sejarah. Kini, Indonesia punya dua figur yang lebih relevan dan relatable: Rojali dan Rohana. Mereka bukan pemimpin pasukan, bukan pemilik unicorn, apalagi buzzer digital. Mereka adalah makhluk langka yang menghuni mal-mal di seantero negeri --- rombongan jarang beli dan rombongan hanya nanya.
Rojali datang dengan penuh gaya: sandal jepit branded KW, tas selempang berisi semangat, dan senyum optimis. Rohana tak mau kalah: hijab syar'i, tote bag bertuliskan "#SelfLove", dan energi bertanya yang tak kunjung padam.
Mereka menyusuri toko demi toko seperti detektif finansial yang sedang menyelidiki keanehan harga. Mereka mampir, bertanya, mencoba, selfie, dan pergi --- meninggalkan jejak kaki tapi bukan jejak transaksi.
Siapa bilang konsumen tidak adaptif? Mereka justru sangat adaptif terhadap inflasi, suku bunga, dan cicilan e-commerce.
- Mal Jadi Museum Konsumen
Jika dulu mal adalah tempat berkumpulnya para pemburu diskon, kini ia berubah menjadi ruang publik estetik berpendingin ruangan. Ritel fashion menggeliat seperti ikan cupang kehabisan oksigen. Bahkan saat Lebaran --- momentum keramat penjual baju --- yang biasanya menjadi ajang "panen raya", tahun 2025 hanya menjadi "geliat kecil".
Menurut pengamatan para kasir dan satpam mal, transaksi kini kalah oleh transaksi berharap dapat diskon minggu depan. Seolah-olah konsumen menyimpan iman dan amal hanya untuk harbolnas.
Lemari pakaian sudah cukup penuh. Tapi saldo rekening? Penuh kehampaan. Maka, berjalan-jalan sambil melihat barang tanpa niat membeli menjadi gaya hidup kontemporer. Retail therapy tanpa terapi. Cuma retail.
- Ekonomi Bertumbuh, Konsumen Berteduh
Pertumbuhan ekonomi kita --- katanya --- masih ada. Bahkan angka resmi menyebut 5,12 persen. Tapi bagi Rojali dan Rohana, angka itu seperti berat badan di timbangan tua: terlihat naik, tapi celana tetap longgar.
Yang bertumbuh bukan daya beli, tapi daya ngeles. Ketika ditanya kenapa tidak belanja, jawaban bervariasi:
- "Lagi puasa keinginan."
- "Gaji cairnya pakai delay mode."
- "Belanja itu kapitalis. Aku spiritualis."