"Apakah sebuah kota bisa ramai tapi tak pernah benar-benar hangat?"
Kesepian bukan lagi perkara sunyi di tengah malam. Ia kini bersemayam di antara riuhnya klakson, lalu lalang pejalan kaki, dan deretan kafe yang penuh tapi tak hangat. Beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan---yang dulu identik dengan mobilitas dan pertumbuhan ekonomi---kini menghadapi tantangan yang lebih sunyi: meningkatnya rasa kesepian di kalangan warganya.
Mengapa kota bisa membuat orang kesepian?
Kota besar menawarkan segala sesuatu, kecuali waktu dan koneksi emosional. Gaya hidup urban menuntut efisiensi, yang kadang menciptakan relasi transaksional. Percakapan menjadi singkat, perhatian terpecah oleh notifikasi, dan kehadiran fisik tidak selalu berarti kedekatan emosional.
Tinggal di apartemen bertingkat tinggi, misalnya, membuat seseorang bisa tinggal bertahun-tahun tanpa tahu siapa tetangga sebelah. Hal ini diperparah dengan pola kerja jarak jauh (remote working) pasca pandemi yang membuat ruang interaksi sosial makin menyempit.
Laporan dan studi menyebutkan bahwa isolasi sosial di kota-kota besar meningkat. Salah satu indikatornya adalah meningkatnya permintaan layanan kesehatan mental dan curhat daring. Ironisnya, dalam kota yang terkoneksi secara digital, banyak yang merasa kehilangan koneksi manusiawi.
Urban planning pun punya peran. Kota yang terlalu fokus pada pembangunan fisik tanpa memikirkan ruang sosial bersama (seperti taman kota, balai warga, atau ruang komunal yang inklusif) seringkali gagal membangun rasa "kita". Akibatnya, penduduk merasa seperti penumpang sementara di kotanya sendiri.
Lalu, siapa yang paling terdampak?
Anak muda, lansia, dan perantau. Generasi muda menghadapi tekanan sosial dari media sosial, sedangkan lansia cenderung tersisih karena perubahan gaya hidup kota. Perantau---yang jumlahnya terus meningkat di kota-kota besar---terkadang kehilangan jaring sosial yang dulu menjadi penopang keseharian mereka di kampung halaman.
Apa yang bisa dilakukan?