Pemerintah katanya siap meluncurkan program diskon saat Nataru untuk mengatasi fenomena ini. Seolah-olah Rohana akan mendadak boros karena poster bertuliskan "Beli 2 Gratis Syarat & Ketentuan."
Diskon hanya menarik bagi mereka yang memang punya uang. Sementara bagi mayoritas, harga berapapun tetap terlalu mahal jika kebutuhan pokok saja masih dicicil.
Jadi, apakah ini solusi? Atau hanya gincu di wajah ekonomi yang sedang pilek?
Ritel, Saatnya Introspeksi
Fenomena Rojali dan Rohana bukan hanya soal kantong, tapi soal trust. Harga yang tidak transparan, gimmick "harga coret", dan promosi palsu membuat konsumen kehilangan minat. Di era digital, kejujuran lebih seksi dari spanduk merah.
Pusat belanja seharusnya bukan lagi tempat pamer kemewahan, tapi ruang pengalaman. Mungkin sudah waktunya mal menghadirkan lebih banyak fasilitas publik, tempat belajar gratis, pameran UMKM, atau bahkan sekadar bangku empuk tanpa kewajiban belanja.
Kalau tidak? Tahun depan bisa muncul generasi baru: Sinta (singgah tapi tidak ambil), atau Romi (rombongan minum gratisan).
Cermin Retak Konsumtivisme
Rojali dan Rohana pada akhirnya bukan sekadar istilah viral. Mereka adalah cerminan---betapa gaya hidup konsumtif mulai goyah, betapa masyarakat urban belajar menahan diri, atau setidaknya menahan limit kartu kredit.
Mereka adalah generasi baru yang tahu bahwa tidak semua keinginan harus diakhiri dengan checkout. Mereka belajar untuk berkata, "Saya lihat-lihat dulu, ya,"---dan untuk pertama kalinya, mereka benar-benar serius.
"Ritel boleh ramai, tapi yang ramai belum tentu ritel. Bisa jadi hanya sekumpulan Rojali dan Rohana yang sedang menghibur dompet masing-masing."
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!