Bagi sebagian pelamar kerja, HRD itu seperti dosen killer: belum kenal, tapi sudah bikin deg-degan. Ada yang menganggap HRD sebagai "penghalang jalan rezeki", ada juga yang curiga HRD cuma jago nanya "Kenapa kami harus menerima kamu?" padahal gaji UMR saja belum tentu mereka hafal.
Tapi, benarkah HRD adalah musuh? Atau justru kita yang gagal memahami peran mereka dalam dunia kerja modern?
Antara Ekspektasi dan Realita
Sebagai penulis yang rutin mengamati dunia kerja, saya menyaksikan sendiri banyaknya ketegangan yang sebenarnya tidak perlu antara pelamar dan HRD. Banyak kandidat yang datang ke sesi wawancara bukan dengan persiapan, tapi dengan kecurigaan. Seolah HRD adalah lawan yang harus "diluluhkan", bukan mitra yang sedang mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak.
Padahal, HRD tidak sedang mencari yang sempurna---mereka mencari yang tepat. Tepat untuk tim, tepat untuk budaya kerja, dan tepat untuk tujuan jangka panjang perusahaan.
Kita sering kali terlalu fokus pada nilai jual diri sendiri, sampai lupa membaca kebutuhan mereka.
HRD Adalah Gerbang, Bukan Tembok
HRD bukanlah penentu akhir dari nasib karier seseorang, tetapi mereka adalah gerbang penting. Bukan tembok. Di banyak perusahaan, HRD berfungsi sebagai penjaga kualitas dan budaya perusahaan. Mereka memastikan bahwa yang masuk bukan hanya punya skill, tapi juga cocok secara sikap dan nilai.
Dari sekian banyak kisah para pencari kerja, saya sering mendengar kalimat seperti ini:
Baca juga: Menjadi HRD Idaman Kandidat Pelamar Kerja"Saya sudah memenuhi semua syarat, tapi tetap ditolak. HRD pasti pilih orang dalam."
Atau yang lebih menyakitkan:
"Saya rasa HRD-nya tidak suka sama saya dari awal. Mungkin karena saya nggak cantik/ganteng."
Dua kalimat ini menunjukkan pola pikir yang berbahaya. Ada asumsi bahwa keputusan HRD selalu subjektif dan tak adil. Padahal, faktanya sering kali lebih kompleks.
Seorang pakar HR bernama Erik Meijer, Managing Partner di Talenta, pernah berkata:
"Perekrutan bukan hanya tentang siapa yang terbaik di atas kertas, tapi siapa yang paling sesuai dengan visi tim ke depan. Itu sebabnya interview lebih mirip jodoh daripada ujian nasional."
Pelamar Butuh Edukasi, HRD Butuh Empati
Kesalahpahaman tidak selalu datang dari satu sisi. Banyak HRD yang masih terjebak pada gaya wawancara kaku, pertanyaan textbook, bahkan "jebakan psikologis" yang membuat pelamar merasa tidak dihargai sebagai manusia. Di sisi lain, banyak pelamar kerja yang tidak paham bagaimana menyampaikan potensi tanpa terkesan arogan, atau menjawab dengan jujur tanpa terlihat naf.
Di sinilah pentingnya edukasi publik---dan sayangnya, itu masih minim.
Sekolah tidak pernah mengajarkan kita cara menulis CV yang tepat. Tidak ada kurikulum yang melatih kita menghadapi interview, memahami iklan lowongan, atau membaca bahasa tubuh HRD. Akibatnya, banyak pelamar datang ke ruang interview seperti peserta Ujian Nasional tanpa kisi-kisi.
Apakah ini kesalahan pelamar? Tidak sepenuhnya. Tapi bukan juga tanggung jawab HRD semata.
Keduanya butuh saling belajar.
Refleksi: Dulu Saya Juga Salah Paham
Saya sendiri pernah jadi pelamar yang sinis. Saya pikir HRD itu hanya membaca CV sekilas lalu memutuskan berdasarkan "feeling". Saat ditolak dari sebuah perusahaan media ternama, saya merasa kecewa bukan main. Padahal, saya merasa artikel saya bagus, pengalaman saya relevan, dan saya sudah riset budaya perusahaan mereka.
Beberapa tahun kemudian, setelah lebih banyak ngobrol dengan profesional HR, saya sadar: mungkin saat itu saya belum klik. Bukan salah saya. Bukan salah mereka juga.
Yang salah adalah ekspektasi saya sendiri: menganggap bahwa saya pasti pantas diterima, tanpa menyisakan ruang bagi pertimbangan lain.
Seorang psikolog industri, Indra Prihadi, pernah menulis:
"Pelamar yang gagal cenderung menyalahkan sistem. Tapi yang berhasil justru belajar cara sistem itu bekerja."
HRD vs Kandidat: Mengubah Pola Pikir
Bila kita terus melihat proses rekrutmen sebagai "pertarungan" antara dua pihak, maka akan selalu ada kecurigaan, ketakutan, dan drama. Tapi bila kita mengubah cara pandang---bahwa ini adalah kolaborasi untuk menemukan kecocokan---maka prosesnya menjadi jauh lebih sehat.
Coba renungkan:
- HRD ingin mencari orang yang tepat bukan hanya pintar, tapi juga tahan tekanan.
- Kandidat ingin pekerjaan yang sesuai bukan hanya gaji, tapi juga lingkungan kerja yang sehat.
Kalau dua pihak ini bisa saling terbuka, banyak kesalahpahaman bisa dicegah sejak awal.
Seorang rekruter dari LinkedIn Indonesia, Putri Handayani, menyampaikan dalam salah satu wawancaranya:
"Salah satu kesalahan paling umum pelamar kerja adalah mencoba jadi orang lain saat wawancara. Padahal, yang kami cari justru versi paling otentik dari mereka."
Tips Reflektif bagi Pelamar: Jangan Takut HRD
Berikut ini beberapa hal yang bisa direnungkan oleh para pelamar kerja:
1. HRD juga manusia. Mereka lelah membaca CV 200 lembar dalam sehari. Mereka bukan musuh, mereka juga sedang berjuang.
2. Jujurlah dengan diri sendiri. Kalau kamu memang belum punya pengalaman, jangan rekayasa. Ceritakan apa yang kamu pelajari dari pengalaman magang, organisasi, atau bahkan kegagalan.
3. Bersiaplah dengan riset. Tahu nama perusahaan saja tidak cukup. Tahu siapa mereka, nilai apa yang mereka junjung, akan membuat kamu lebih terarah.
4. Jangan overconfidence. Banyak kandidat pintar yang justru gagal karena terlalu yakin "pasti diterima."
5. Evaluasi, bukan overthinking. Setelah gagal, jangan langsung menyalahkan HRD. Evaluasi dulu, lalu coba lagi.
Bagi HRD: Ini Juga Undangan untuk Introspeksi
Sebagai pihak yang punya kuasa dalam proses seleksi, HRD perlu menyadari bahwa tindakan mereka punya dampak psikologis besar terhadap kandidat. Kandidat yang ditolak bisa patah semangat. Kandidat yang merasa diremehkan bisa trauma menghadapi wawancara berikutnya.
Apakah semua HRD bertanggung jawab atas itu? Tentu tidak. Tapi HRD bisa ikut mengubah iklim ini jadi lebih manusiawi.
Gunakan bahasa yang jelas dalam lowongan. Beri umpan balik jika memungkinkan. Jangan membuat sesi interview seperti interogasi.
Jika kita ingin dunia kerja Indonesia lebih sehat, empati harus datang dari dua arah.
Penutup: HRD dan Kandidat, Dua Sisi dari Koin yang Sama
Dunia kerja tidak bisa berjalan tanpa pelamar, begitu pula sebaliknya: tidak mungkin ada proses kerja yang sehat tanpa HRD yang profesional dan bijak.
Kita bukan musuh. Kita hanya perlu lebih banyak ruang untuk saling memahami, lebih banyak edukasi tentang proses rekrutmen, dan tentu saja---lebih banyak percakapan terbuka seperti ini.
Dan siapa tahu, artikel ini dibaca oleh HRD yang akan mewawancarai kamu minggu depan?
Kalau iya, jangan lupa bilang:
"Saya belajar banyak dari Kompasiana. Termasuk tentang bagaimana HRD bukan musuh."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI