"Kenapa suasana wawancara kadang lebih tegang dari sidang perceraian? Apakah rekrutmen harus selalu terasa seperti interogasi?"
--- Penulis Penuh Tanya
Dalam ruang seleksi kerja, sering kali wawancara lebih terasa seperti ruang interogasi. HRD duduk seperti hakim; kandidat duduk seperti tersangka. Salah jawab dikit, langsung gugur. Kurang percaya diri, dinilai nggak kompeten. Bahkan ada yang ditolak karena "aura-nya belum cocok". Serius, sejak kapan HRD pakai ilmu indigo?
Padahal ini bukan pengadilan. Ini seharusnya proses temu bakat, bukan uji nyali.
Siapa Tuan Rumah, Siapa Tamu?
Dalam kultur timur, siapa yang mengundang, maka dia yang menjamu. Maka dalam proses rekrutmen, HRD sejatinya adalah tuan rumah. Kandidat adalah tamu. Tapi sering kali suasananya terasa sebaliknya: penuh tekanan, tanpa sambutan, minim senyum.
HRD idaman tahu pentingnya menyambut dengan ramah, menjelaskan posisi dengan jernih, serta menciptakan ruang nyaman untuk berdialog dua arah.
Sebaliknya, kandidat pun mesti datang dengan etika, kesiapan, dan apresiasi terhadap waktu yang diberikan.
Rekrutmen = Jalan Dua Arah
Rekrutmen bukan uji kelayakan sepihak. Kandidat juga sedang menilai. Apakah perusahaan ini sehat? Budayanya cocok? Sistem kerjanya manusiawi?
HRD yang profesional tidak hanya bertanya, tapi juga memberi ruang ditanya. Tidak alergi saat ditanya soal jenjang karier, transparansi gaji, bahkan alasan lowongan dibuka. Justru dari keterbukaan inilah, kepercayaan terbentuk sejak awal.
"Kalau rekrutmen seperti kencan, kenapa banyak yang bersikap seperti atasan dan bawahan?"
--- Penulis Penuh Tanya
Ketika HRD Mengundurkan Diri: Siapa yang Menyaring Penyaring?
"Jika semua sibuk menilai kandidat, lalu siapa yang pernah bertanya: apakah HRD juga merasa dihargai oleh perusahaannya?"
--- Penulis Penuh Tanya
Kita sering mendengar keluhan kandidat tentang HRD. Tapi jarang sekali kita dengar cerita HRD yang resign karena... burnout. Ya, penyaring juga bisa lelah. Di balik wajah tegas dan senyum diplomatis, ada banyak HRD yang diam-diam mengundurkan diri.
Bukan karena tak mampu, tapi karena tak dihargai.
HRD: Penjaga Gerbang + Kambing Hitam
HRD memegang banyak peran:
- Menyaring kandidat,
- Menerjemahkan kemauan manajemen,
- Mendamaikan user yang beda pendapat,
- Mengurus administrasi,
- Jadi tempat curhat karyawan yang tak puas...
Dan ketika semua tidak sesuai, siapa yang disalahkan?
HRD.
Padahal HRD hanyalah "jembatan". Tapi terlalu sering, jembatan itu diinjak dari dua arah.
HRD Butuh Dukungan, Bukan Cuma Target
HRD idaman tidak lahir begitu saja. Mereka tumbuh dari ekosistem yang sehat. Diberi pelatihan, diberikan ruang bernapas, didengar masukannya, dan dilibatkan dalam keputusan besar perusahaan.
Kalau HRD hanya diperlakukan sebagai alat penyaring dan 'pasrah disuruh-suruh', maka jangan heran jika yang keluar duluan justru mereka.
"Kalau kandidat boleh gagal, kenapa HRD tidak boleh lelah?"
--- Penulis Penuh Tanya
Kesimpulan: Rekrutmen Butuh Rasa, Bukan Sekadar Proses
Kandidat yang datang membawa harapan, sebaiknya bertemu HRD yang membawa kejelasan. Begitu juga sebaliknya: HRD yang lelah dan tulus, layak bertemu kandidat yang sopan dan siap.
HRD bukan polisi. Kandidat bukan tersangka.
Mereka adalah dua pihak yang saling mencari: satu mencari partner kerja terbaik, yang satu lagi mencari tempat untuk berkembang.
Dan keduanya sama-sama ingin dimanusiakan.
"Kalau HRD dan kandidat sama-sama manusia, kenapa proses rekrutmen masih terasa seperti adu kuat?"
--- Penulis Penuh Tanya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI