Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi Pasar Cinde: Ketika Revitalisasi Jadi Alat Merampok Uang Rakyat

7 Juli 2025   23:20 Diperbarui: 7 Juli 2025   23:20 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Gambar ini dihasilkan dengan bantuan AI.

Oleh: Harmoko | Senin, 7 Juli 2025

Ketika sebuah bangunan bersejarah dibongkar atas nama kemajuan, publik berharap diganti dengan sesuatu yang lebih baik, lebih manusiawi, dan lebih membanggakan. 

Tapi bagaimana bila yang terjadi justru sebaliknya: pasar heritage lenyap, revitalisasi mangkrak, dan uang rakyat raib entah ke mana? Kasus korupsi Pasar Cinde adalah tragedi kolektif bagi warga Palembang---bahkan simbol gagalnya etika pembangunan di negeri ini.

Pada Senin, 7 Juli 2025, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan resmi menetapkan Harnojoyo, mantan Wali Kota Palembang, sebagai tersangka kasus korupsi proyek revitalisasi Pasar Cinde. 

Ia menyusul Alex Noerdin, mantan Gubernur Sumsel, yang lebih dulu jadi tersangka dalam kasus serupa. 

Sederet nama pejabat dan pihak swasta terlibat. Jika ini sinetron, kita sudah sampai pada episode "Tokoh Utama Ternyata Antagonis."

Revitalisasi Pasar Cinde sejatinya dimulai dengan narasi besar: menjadikan kota Palembang lebih modern menyambut Asian Games 2018. 

Pasar yang dahulu penuh memori, berdiri sejak zaman Belanda dan termasuk cagar budaya, dibongkar demi pusat perbelanjaan berlantai-lantai dengan janji "lebih bersih dan berkelas."

Namun, realitas di lapangan begitu pahit. Proyek ini mangkrak. Hingga 2025, pasar baru tak pernah berfungsi sebagaimana mestinya. 

Para pedagang tergusur, ekonomi mikro lokal limbung, dan kawasan itu jadi semacam monumen kegagalan: beton membisu di tengah kota. 

Ironisnya, proyek yang digadang-gadang membawa kesejahteraan justru menorehkan jejak korupsi senilai hampir Rp1 triliun.

Di titik ini, publik pantas bertanya: siapa sebenarnya yang dilayani oleh proyek-proyek mercusuar seperti ini?

Kasus Pasar Cinde bukan korupsi eceran. Ia melibatkan aktor-aktor dengan posisi strategis. 

Modusnya pun klasik: manipulasi kebijakan untuk keuntungan swasta. 

Salah satu sorotan tajam adalah pemberian diskon 50% Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) kepada pengembang PT Magna Beatum. 

Harnojoyo diduga memberi instruksi agar hanya Rp1,1 miliar yang dibayar dari seharusnya Rp2,2 miliar.

Mungkin bagi sebagian orang, angka ini terdengar kecil. 

Tapi pengurangan sepihak atas kewajiban keuangan negara bukan sekadar "diskon," melainkan praktik penyimpangan kewenangan. 

Ia menandai bahwa keputusan administratif yang seharusnya berbasis aturan bisa berubah menjadi alat negosiasi politik dan ekonomi di belakang layar.

Kasus ini juga memperlihatkan betapa mudahnya aktor-aktor kekuasaan memutarbalikkan narasi "pembangunan" menjadi kedok korupsi. 

Apa yang semula dijual sebagai kebutuhan publik justru menjadi proyek elite, tanpa transparansi, akuntabilitas, dan kepedulian pada rakyat kecil yang terdampak.

Seperti biasa, publik adalah korban paling setia dari setiap episode korupsi. 

Pedagang kecil yang semula mengandalkan Pasar Cinde sebagai tempat mencari nafkah dipaksa pindah, kehilangan pelanggan, bahkan banyak yang gulung tikar. 

Janji relokasi tak kunjung ditepati. Sementara itu, gedung baru yang terbengkalai berdiri seperti sisa mimpi buruk.

Bayangkan, selama lebih dari tujuh tahun masyarakat Palembang menyaksikan proyek "revitalisasi" itu seperti menonton film tanpa ending. 

Tapi yang lebih menyakitkan: penonton ternyata juga ikut membiayai produksi film gagal ini lewat pajak mereka.

Revitalisasi seharusnya menyejahterakan, bukan menyengsarakan. 

Tapi kata itu kini kehilangan makna ketika implementasinya hanya menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan kepentingan banyak orang.

Harnojoyo dan Alex Noerdin hanyalah dua nama dari banyak pejabat yang punya jejak dalam proyek ini. 

Penetapan mereka sebagai tersangka memberi harapan bahwa hukum masih bekerja. 

Namun publik tak cukup puas dengan penangkapan saja. 

Yang dituntut adalah kejelasan atas pengembalian kerugian negara, pemulihan hak-hak pedagang, dan audit menyeluruh terhadap proyek-proyek sejenis yang kerap dijadikan bancakan kekuasaan.

Lebih penting lagi, kejadian ini seharusnya menyadarkan publik akan pentingnya pengawasan partisipatif. Kita tak boleh hanya terpesona dengan jargon pembangunan, tanpa menanyakan: untuk siapa, oleh siapa, dan bagaimana pelaksanaannya?

Kasus ini bukan yang pertama. Di banyak daerah, kita menyaksikan pola serupa: pasar digusur, pedagang tergusur, proyek mangkrak, dan pejabat terseret. 

Semua atas nama kemajuan. Namun tak jarang, "kemajuan" itu ternyata hanya topeng dari ambisi pribadi dan kelompok elite.

Kita memerlukan paradigma baru dalam menilai pembangunan: bukan dari besar anggarannya, bukan dari megah gedungnya, tapi dari keberpihakan dan dampaknya bagi rakyat kecil. 

Kalau tidak, kita hanya akan terus mengulang ironi: membangun fisik, tapi merobohkan nilai dan kepercayaan publik.

Pasar Cinde hari ini bukan sekadar bangunan mangkrak. 

Ia adalah cermin: tentang kegagalan tata kelola, tentang bobroknya integritas birokrasi, dan tentang betapa rakyat kecil selalu jadi korban utama ambisi besar yang korup.

Publik berhak marah. Bukan hanya karena uang negara dikorupsi, tapi karena keadilan dirampas, dan sejarah kota dikorbankan. 

Kini, yang dibutuhkan bukan sekadar penjara bagi pelaku, tapi perubahan sistemik: dari tata kelola anggaran, transparansi proyek publik, hingga pelibatan warga dalam pengambilan keputusan.

Jika tidak, kita hanya tinggal menghitung waktu sebelum ada "Pasar Cinde" lain di kota-kota lain.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/menyusul-alex-noerdin-mantan-wali-kota-palembang-harnojoyo-jadi-tersangka-korupsi-pasar-cinde?utm_source=link&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_android_traffic

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun