Pernahkah kita berniat "scroll lima menit saja" sebelum tidur, lalu sadar sudah jam dua pagi dan kita masih di tempat yang sama---dengan mata lelah, punggung pegal, dan pikiran kosong? Jika ya, selamat, Anda tidak sendirian. Fenomena ini, yang kini akrab disebut brain rot, semakin menjadi norma dalam keseharian kita. Istilahnya boleh saja terdengar jenaka, tapi dampaknya sangat nyata dan memprihatinkan.
Artikel Kompas berjudul "Scroll Terus Sampai Diri Tak Terurus" menggambarkan kondisi ini secara jujur dan menyentuh. Lewat kisah Louise di Timika dan Tara di Bekasi, kita disodori realitas bahwa gawai kini bukan sekadar alat bantu, tapi sudah menjadi "majikan" yang mengatur ritme hidup kita. Lebih dari sekadar kecanduan, ini adalah bentuk ketidakseimbangan eksistensial yang pelan-pelan menggerogoti kesadaran kita sebagai manusia yang utuh.
Di Balik Tawa, Ada Duka: Brain Rot Itu Nyata
Brain rot bukan istilah medis, tapi ia mencerminkan gejala yang makin nyata. Penurunan fokus, sulit mengingat, mudah terdistraksi, bahkan kehilangan motivasi hidup, menjadi efek domino dari pola konsumsi konten yang berlebihan. Bukan hanya anak-anak atau remaja, tapi orang dewasa dan lansia pun tidak luput.
Kisah Louise (47), seorang guru SD di Timika, memberi gambaran tragis betapa mudahnya seseorang terjebak dalam infinite scroll. Ia menyadari dirinya bisa duduk selama lima jam hanya untuk menatap layar dan menelusuri konten yang tidak meninggalkan kesan apa-apa. Ia merasa waktunya "hilang begitu saja." Begitu pula dengan Tara (22) di Bekasi, yang screen time hariannya mencapai 15 jam---sebuah angka yang bahkan membuat aplikasi kesehatan di ponselnya kebingungan harus memberi peringatan apa.
Kita mungkin tertawa ketika melihat meme soal "scroll sambil lupa mandi," tapi tawa itu seringkali adalah bentuk penyangkalan akan kegelisahan yang tak kita pahami betul. Sebab kenyataannya, dampak scrolling berlebihan ini tidak hanya merusak ritme harian, tapi juga perlahan menggerus kepekaan kita terhadap dunia nyata.
Algoritma yang Tahu Kita Lebih dari Diri Sendiri
Kecanduan ini tidak terjadi begitu saja. Ada kekuatan besar yang bekerja diam-diam tapi konsisten: algoritma. Platform seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan bahkan Threads, kini menggunakan sistem rekomendasi berbasis minat yang nyaris mustahil untuk diabaikan. Sekali kita menyukai satu video lucu tentang kucing jatuh, esoknya kita akan disuguhi lima belas versi lainnya---semuanya dikurasi untuk membuat kita bertahan lebih lama.
Menurut artikel Kompas, algoritma bukan hanya tahu apa yang kita suka, tapi juga kapan kita rapuh. Di saat kita sedang lelah, kesepian, atau cemas, justru saat itulah umpan-umpan digital bekerja paling efektif. Mereka menyajikan konten yang bisa membuat kita tertawa, terhibur, atau bahkan menangis sesaat---tapi semua itu bukan solusi, hanya pelarian.
Lebih parah lagi, algoritma ini tidak hanya menyasar generasi muda. Seperti yang diamati oleh Achmad Irfandi dari Kampung Lali Gadget, kini para orang tua pun mulai menunjukkan gejala yang sama. Ini artinya, kita sedang menghadapi krisis lintas generasi yang dampaknya sangat mungkin jauh lebih luas dari sekadar gangguan tidur atau produktivitas.