Prolog: Mengapa Tidak Sendiri Saja?
Ada masanya saya merasa bisa melakukan semuanya sendiri. Menyusun strategi, mengelola produksi, mendesain logo, membalas pelanggan, bahkan mengisi spreadsheet keuangan. Dan saya sempat menikmati itu: kebebasan penuh, kecepatan dalam pengambilan keputusan, dan perasaan bangga karena tidak bergantung pada siapa pun.
Tapi, ada titik ketika bisnis saya tumbuh... dan saya justru mulai tumbang.
Saat itulah saya belajar bahwa memilih bermitra bukanlah tanda kelemahan, melainkan tindakan sadar seorang wirausahawan yang ingin bisnisnya lebih besar dari egonya sendiri.
---
Bermitra, Tapi Bukan Sembarangan
Keputusan bermitra adalah buah dari perenungan panjang. Saya memikirkan kembali prinsip-prinsip dalam Strategic Management---terutama dalam konteks strategic alliance. Ini bukan sekadar urusan siapa bisa bawa modal lebih besar atau siapa punya kenalan lebih banyak. Ini tentang siapa yang bisa melengkapi kekurangan saya, bukan menyaingi kelebihan saya.
Saya bertanya pada diri sendiri:
Apakah saya siap berbagi kendali?
Apakah saya siap berkompromi?
Apakah saya siap membangun bisnis seperti membangun rumah bersama orang lain, di mana fondasinya harus disusun dengan visi yang sama?
Dan ketika saya menemukan seseorang yang menjawab "iya" untuk pertanyaan yang sama, saya tahu ini bukan kebetulan---ini peluang.
---
Teori Manajemen Menyambut Logika Kemitraan
Dalam buku Management karya Stephen P. Robbins dan Mary Coulter, kemitraan digambarkan sebagai upaya menyatukan kekuatan untuk menghadapi tantangan eksternal. Konsep ini makin relevan di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Di tengah perubahan pasar yang cepat, saya sadar saya tidak bisa jadi "superman bisnis".
Saya butuh "Justice League".
Kemitraan membuat kami bisa:
Membagi tugas berdasarkan keahlian.
Menangkap peluang pasar yang lebih luas.
Meningkatkan daya tahan terhadap risiko.
Saling mengingatkan ketika keputusan mulai bias ego.
---
Konflik Itu Pasti, Tapi Bisa Dikelola
Setiap orang berbeda. Dan dua orang yang membangun bisnis bersama jelas akan berbeda banyak. Tapi perbedaan itu bukan musuh, selama ada sistem untuk mengelolanya.
Saya dan mitra saya menerapkan prinsip dari Thomas-Kilmann Conflict Model. Kami membuat aturan main sejak awal:
Semua keputusan strategis harus dibahas dalam rapat mingguan.
Keuntungan dibagi berdasarkan kontribusi, bukan emosi.
Jika ada ketidaksepakatan, kami ambil waktu 24 jam untuk merenung sebelum memutuskan.
Konflik memang muncul. Tapi tidak menjadi kanker. Karena kami sepakat bahwa bisnis ini harus tetap hidup walau kadang kita beda jalan pikiran.
---
Belajar Melepas Ego: Bukan Semua Harus dari Saya
Dulu saya suka merasa, "Kalau bukan saya yang kerjakan, hasilnya pasti tidak maksimal."
Sekarang saya tahu itu bentuk kelelahan yang menyamar jadi idealisme.
Bermitra mengajarkan saya untuk percaya. Dan kepercayaan itu saya bangun lewat sistem:
Setiap orang punya KPI.
Setiap keputusan besar dicatat dalam rapat dan ditindaklanjuti.
Tidak ada silent treatment---semua persoalan harus dibicarakan.
Saat saya lihat mitra saya berhasil menjalankan tugas yang dulu saya kerjakan sendiri, saya tidak cemburu. Saya lega. Karena bisnis ini kini punya dua kaki, bukan satu. Dan saya tidak perlu pincang sendirian.
---
Saat Pasar Berkembang, Kita Tidak Goyah
Setelah satu tahun berjalan, usaha kami mengalami pertumbuhan signifikan. Kami mulai kebanjiran pesanan, ditawari kolaborasi, bahkan dilirik investor lokal.
Pertumbuhan ini menguji dua hal:
1. Apakah kami siap berbagi lebih besar?
2. Apakah kami tetap bisa rendah hati di tengah pujian?
Untungnya, kami tidak lupa pada perjanjian awal: visi kami adalah pertumbuhan berkelanjutan, bukan pertumbuhan emosional.
Kami mengembangkan SOP, merekrut staf, membagi divisi, dan mulai membangun sistem yang membuat bisnis bisa berlari tanpa harus kami kejar setiap hari. Di sinilah saya melihat teori shared leadership menjadi nyata.
---
Tapi Bang, Bukannya Banyak yang Gagal Karena Kemitraan?
Benar, dan saya tidak menyangkal itu.
Kemitraan bisa jadi bom waktu jika:
Dibangun atas dasar pertemanan, bukan profesionalisme.
Tidak ada kejelasan peran dan tanggung jawab.
Tidak ada perjanjian tertulis.
Tidak siap menghadapi konflik.
Saya pun pernah melihat teman-teman saya gagal. Ada yang kehilangan bisnis dan sahabat sekaligus. Ada yang akhirnya mundur diam-diam demi menghindari drama.
Justru karena itu, saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Saya belajar dari cerita mereka, bukan menertawakannya. Saya buat sistem, saya siapkan ruang bicara, dan saya berani untuk berkata, "Kalau kamu ingin mundur, ayo kita bicara baik-baik."
---
Refleksi: Mengapa Saya Tetap Memilih Bermitra?
Karena saya ingin:
Bisnis yang bertumbuh sehat, bukan sekadar cepat.
Tim yang kuat, bukan saya yang kuat sendirian.
Kemungkinan istirahat, tanpa rasa bersalah.
Saya ingin hidup yang seimbang, bukan hidup yang hanya isinya spreadsheet dan logistik. Dan kemitraan, jika dikelola dengan baik, bisa memberi saya itu.
---
Epilog: Menjadi Pemilik Usaha, Bukan Budak Usaha
Ada perbedaan besar antara menjadi pemilik usaha dan budak usaha sendiri. Kemitraan membantu saya keluar dari jebakan kedua.
Hari ini, saya tidak merasa bisnis ini hanya milik saya. Tapi saya juga tidak merasa kehilangan. Karena yang saya miliki adalah sesuatu yang lebih besar dari sekadar "punya":
> Saya punya kepercayaan, komitmen bersama, dan tujuan yang tidak saya pikul sendirian.
Dan itu---bagi saya---jauh lebih penting.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI