"Rumahku istanaku," katanya. Tapi bagaimana jika 'istanaku' hanyalah bangunan sempit, bocor, jauh dari mana-mana, dan legalitasnya tak kunjung jelas?
Suatu sore, saya melewati deretan rumah subsidi di pinggiran kota. Warnanya cerah, berderet rapi seperti potongan Lego raksasa di tengah padang ilalang. Dari kejauhan terlihat menjanjikan. Tapi semakin lama saya menatap, semakin kuat satu pertanyaan muncul: apakah rumah-rumah ini benar-benar sesuai ekspektasi para penghuninya?
Saya membayangkan sepasang suami istri muda, menggenggam harapan besar saat menyerahkan uang muka pertama. Dengan penuh semangat mereka mencicil rumah subsidi karena hanya itu yang terjangkau. Tapi apa yang mereka dapatkan sering kali tak seindah iklan.
Ekspektasi Rakyat: Rumah Layak, Bukan Sekadar Murah
Kita semua tahu harga rumah di kota besar sudah seperti mimpi di siang bolong bagi rakyat biasa. Di sinilah rumah subsidi hadir sebagai solusi, menawarkan harga ramah di kantong. Ekspektasinya sederhana: rumah yang layak huni, aman, dan punya akses terhadap kebutuhan dasar---air, listrik, jalan, serta transportasi umum.
Bukan minta kolam renang, bukan minta smart home. Cukup rumah yang tidak bocor saat hujan, tidak retak dalam dua tahun, dan cukup nyaman untuk menyusun masa depan.
Kenyataan Tak Selalu Sejalan
Namun, di lapangan, cerita sering berbeda. Banyak rumah subsidi dibangun jauh dari pusat aktivitas, jauh dari sekolah, pasar, apalagi fasilitas kesehatan. Seolah rumah dan hidup layak tak boleh satu paket.
Kualitas bangunannya pun sering kali mengecewakan. Dinding tipis, atap bocor, air sumur keruh, dan saluran air yang mampet. Seorang teman pernah bilang, "Kalau hujan, bukan cuma genteng yang bocor, tapi mimpi juga ikut rembes."
Harga rumahnya tetap naik tiap tahun, seakan-akan kualitas ikut naik juga---padahal nyatanya tidak.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!