Gaji Belum Turun, Cicilan Sudah Datang: PayLater dan Realita Gali Lubang Masa Kini
Belakangan ini saya makin sering melihat teman-teman di sekitar saya posting barang-barang baru: sepatu sneakers kekinian, ponsel terbaru, atau tiket konser yang harganya hampir setara gaji sebulan.Â
Saya senang mereka terlihat bahagia.Â
Tapi ketika obrolan ngopi dimulai dan pertanyaan "beli di mana?" muncul, jawabannya sering sama: "Pakai PayLater."
Awalnya saya pikir PayLater hanya alat bantu transaksi.Â
Tapi makin hari, saya merasa layanan ini jadi semacam candu digital---yang halus, tak terasa, dan tahu-tahu bikin kita nyungsep.
Saya bukan anti kemajuan teknologi.Â
PayLater punya sisi positif: mempermudah transaksi, jadi solusi di saat darurat, dan memberikan akses ke layanan keuangan bagi mereka yang belum punya kartu kredit.Â
Tapi, masalahnya bukan pada teknologinya, melainkan cara kita menggunakannya.
Banyak orang, terutama anak muda, menggunakan PayLater bukan untuk kebutuhan penting, tapi untuk gaya hidup.Â