Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang mampu, baik secara fisik, finansial, maupun logistik.Â
Setiap tahunnya, jutaan jemaah dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah ini.Â
Namun, lonjakan jumlah jemaah terutama pada puncak haji, yakni 10 hingga 13 Zulhijah, menimbulkan tantangan tersendiri dalam hal pengelolaan kerumunan.Â
Untuk menjawab tantangan ini, Pemerintah Arab Saudi bersama otoritas penyelenggara haji dari berbagai negara, termasuk Indonesia, menerapkan sistem Murur dan Tanazul sebagai strategi pengaturan pergerakan jemaah.
Secara bahasa, Murur berarti "melintas". Dalam konteks pelaksanaan haji, skema Murur merujuk pada kebijakan di mana sebagian jemaah tidak bermalam secara penuh di Muzdalifah.Â
Sebaliknya, mereka hanya melintas atau berhenti sejenak untuk mengambil batu dan kemudian langsung melanjutkan perjalanan menuju Mina.
Tujuan utama dari skema ini adalah untuk mengurai kepadatan di Muzdalifah yang biasanya sangat penuh karena seluruh jemaah datang dalam waktu yang hampir bersamaan setelah wukuf di Arafah.Â
Dalam kondisi normal, jemaah memang disunnahkan untuk bermalam di Muzdalifah, tetapi dalam skema Murur, jemaah yang termasuk kelompok lansia, disabilitas, atau yang berisiko tinggi secara kesehatan diizinkan untuk langsung menuju Mina setelah singgah singkat di Muzdalifah.
Kelonggaran ini didasarkan pada fatwa para ulama dan ketentuan fikih yang memperbolehkan tidak bermalam di Muzdalifah secara sempurna, terutama bagi jemaah yang mengalami kesulitan.Â
Prinsip kemudahan (taisir) dalam syariat Islam menjadi landasan penting dalam penerapan skema ini.