Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Suara Kritis Dibungkam: Intimidasi terhadap Penulis Opini dan Tantangan bagi Demokrasi Indonesia

26 Mei 2025   14:42 Diperbarui: 26 Mei 2025   14:42 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Dewan Pers Komarudin Hidayat (MAWAR KUSUMA WULAN/KOMPAS)

Dalam sistem demokrasi yang sehat, kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan hak fundamental yang dijamin konstitusi dan menjadi pilar utama bagi keberlangsungan kehidupan bernegara. Sayangnya, hak ini terus menghadapi tantangan di Indonesia. Kasus terbaru yang menyita perhatian publik adalah dugaan intimidasi terhadap seorang penulis opini di media daring Detik.com, menyusul pemuatan tulisannya berjudul "Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?" yang kemudian dicabut atas permintaan penulisnya sendiri. Dugaan intimidasi ini tidak hanya mengguncang ruang redaksi, tetapi juga mengirim sinyal bahaya bagi kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers di tanah air.

Konteks Kasus: Tulisan, Intimidasi, dan Pencabutan

Tulisan opini tersebut dimuat pada Kamis, 22 Mei 2025. Isinya mempertanyakan kecenderungan pengangkatan perwira militer aktif atau purnawirawan dalam jabatan-jabatan sipil, suatu praktik yang dinilai dapat menciderai prinsip meritokrasi dalam Aparatur Sipil Negara (ASN). Kritik tersebut seharusnya bisa diposisikan sebagai bentuk kontrol warga negara atas kebijakan publik, terutama yang bersinggungan dengan tata kelola pemerintahan.

Namun, tak lama setelah tulisan itu dipublikasikan, penulisnya dilaporkan mengalami intimidasi dari pihak tak dikenal. Karena alasan keselamatan pribadi, penulis meminta agar tulisannya dicabut dari laman Detik.com. Permintaan itu dikabulkan oleh redaksi. Meski awalnya Detik.com menyatakan penghapusan itu dilakukan atas rekomendasi Dewan Pers, pernyataan tersebut kemudian diklarifikasi: pencabutan semata-mata atas permintaan penulis sendiri.

Judul opini pun diubah menjadi "Tulisan Opini Ini Dicabut", sementara isi kolom diperbarui dengan penjelasan korektif. Dalam pernyataan terbaru, redaksi Detik.com juga menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruan sebelumnya mengenai keterlibatan Dewan Pers dalam pencabutan artikel.

Sikap Tegas Dewan Pers

Menanggapi polemik ini, Dewan Pers menyatakan sikap tegas. Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, dalam siaran pers pada Sabtu, 24 Mei 2025, menyampaikan keprihatinan mendalam atas dugaan intimidasi terhadap penulis opini tersebut. Dewan Pers secara eksplisit mengecam tindakan tersebut dan menyerukan perlindungan terhadap suara-suara kritis, termasuk dari kalangan mahasiswa atau warga sipil lainnya.

"Dewan Pers mengecam dugaan intimidasi terhadap penulis opini di Detik.com. Kami mendesak semua pihak untuk menghormati dan menjaga ruang demokrasi serta melindungi suara kritis dari warga," kata Komaruddin.

Ia juga menegaskan bahwa pencabutan suatu tulisan adalah wewenang redaksi media yang bersangkutan, namun sebaiknya disertai dengan transparansi kepada publik guna mencegah munculnya spekulasi atau misinformasi. Mengenai kasus ini, Dewan Pers mengaku telah menerima laporan dari penulis dan sedang melakukan verifikasi lebih lanjut.

Komaruddin menekankan bahwa dalam semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan dan kebebasan pers harus dijaga secara serius. "Kami mengimbau semua pihak untuk menghindari kekerasan dan tindakan main hakim sendiri," ujarnya.

Dimensi Hukum dan Etika Pers

Dari sisi hukum, tulisan opini di media massa termasuk dalam produk jurnalistik yang dilindungi oleh Undang-Undang Pers. Hal ini dijelaskan oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Bayu Wardhana. Menurutnya, opini merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dan patut mendapatkan perlindungan sebagaimana halnya berita atau laporan investigatif.

"Kalau itu sudah menjadi produk jurnalistik, tidak mudah untuk dicabut. Meski demikian, pencabutan memungkinkan dilakukan dengan alasan tertentu," kata Bayu.

Pedoman Media Siber yang menjadi acuan praktik jurnalistik digital memungkinkan pencabutan artikel jika menyangkut kesusilaan, perlindungan anak, atau isu SARA. Ancaman terhadap keselamatan jiwa penulis memang belum secara eksplisit tercantum dalam pedoman tersebut, namun bisa menjadi pertimbangan etis oleh redaksi.

Tetap saja, pencabutan harus dilakukan secara transparan dan disertai penjelasan yang jelas kepada publik. Dalam kasus ini, meskipun keselamatan penulis menjadi alasan yang sah, redaksi seharusnya tidak terburu-buru menyebut pihak lain, seperti Dewan Pers, sebagai pemrakarsa pencabutan tanpa konfirmasi terlebih dahulu.

Gejala Swasensor dan Ancaman Demokrasi

Kasus Detik.com bukanlah insiden tunggal. Menurut Bayu, terdapat pola berulang dalam beberapa waktu terakhir yang menunjukkan adanya kecenderungan pembungkaman suara kritis melalui intimidasi. Ia mencontohkan kasus pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi majalah Tempo pada Maret 2025 serta gangguan terhadap diskusi mahasiswa di Semarang, Jawa Tengah, pada April 2025.

Jika dibiarkan, tindakan-tindakan semacam ini akan menumbuhkan iklim ketakutan dan menyuburkan praktik swasensor di kalangan jurnalis maupun penulis opini. Artinya, seseorang akan enggan menyuarakan kritik atau pandangan yang tajam karena takut akan mendapat balasan yang mengancam keselamatannya.

"Perlawanan terhadap segala bentuk teror dan intimidasi harus disuarakan terus-menerus oleh masyarakat sipil. Jika tidak, kita bisa kembali ke masa represif seperti Orde Baru," tegas Bayu.

Dalam demokrasi, perbedaan pandangan adalah keniscayaan. Bila setiap opini yang tajam terhadap pemerintah atau institusi tertentu justru dibalas dengan tekanan atau teror, maka nilai-nilai dasar demokrasi menjadi kehilangan maknanya.

Ruang Aman bagi Kritik Konstruktif

Apa yang dapat kita pelajari dari kasus ini?

Pertama, perlu adanya ruang aman bagi warganegara untuk menyampaikan kritik, terlebih bila kritik tersebut didasarkan pada analisis yang objektif dan konstruktif. Penulis opini, terlebih di platform media arus utama, harus merasa terlindungi dan didukung ketika menyuarakan pendapat mereka.

Kedua, media massa sebagai institusi publik memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menjaga keberimbangan dan akurasi, tetapi juga melindungi kontributor dan wartawan dari ancaman eksternal. Media tidak boleh menyerah terhadap tekanan yang melemahkan independensi editorial mereka.

Ketiga, aparat penegak hukum perlu menunjukkan keberpihakan terhadap hukum dan keadilan, bukan pada kekuatan yang mencoba membungkam suara kritis. Penyelidikan terhadap dugaan intimidasi terhadap penulis opini harus dilakukan secara menyeluruh agar kasus serupa tidak berulang.

Keempat, publik memiliki peran penting sebagai penjaga demokrasi. Dukungan terhadap korban intimidasi, serta sikap kritis terhadap setiap pembungkaman opini, harus menjadi gerakan bersama. Demokrasi yang sehat memerlukan partisipasi aktif warganya, bukan kepatuhan pasif karena rasa takut.

Penutup: Demokrasi Tak Boleh Terkikis Diam-diam

Kasus pencabutan opini dan dugaan intimidasi ini bukan sekadar soal satu tulisan yang hilang dari laman media. Ia adalah cermin dari kondisi kebebasan sipil kita hari ini. Ketika suara kritis dibungkam, dan media tidak cukup kuat untuk menahan tekanan, maka yang terkikis bukan hanya teks sebuah opini, melainkan nyawa dari demokrasi itu sendiri.

Dewan Pers telah menunjukkan sikap tegas dan sesuai jalur. Namun, keberlanjutan dari upaya perlindungan terhadap kebebasan pers membutuhkan solidaritas lebih luas: dari komunitas jurnalis, masyarakat sipil, lembaga hukum, hingga publik pembaca. Demokrasi tidak tumbuh di ruang hampa. Ia hanya akan hidup jika kita semua merawatnya bersama-sama---dengan menolak intimidasi, mendorong keberanian, dan terus membuka ruang dialog yang sehat.

Sumber: ePaper KOMPAS 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun