Hidup yang sustainable bukan hanya tentang daur ulang atau energi terbarukan.Â
Ia juga tentang kemampuan untuk mengatur ulang prioritas, mengambil jeda, dan menolak tekanan konsumsi yang membutakan.Â
Karena jika hidup hanya diukur dari pencapaian dan kepemilikan, maka kita sedang membangun dunia yang rapuh---yang hanya bisa bertahan selama manusia masih kuat menahan napas.
Kelas menengah menjadi titik krusial dalam agenda keberlanjutan manusia.Â
Mereka adalah cermin dari aspirasi sosial sekaligus arena pertarungan antara kesadaran dan distraksi.Â
Ketika mereka mulai bertanya tentang makna hidup, tentang cukup, dan tentang arah yang lebih utuh, maka benih perubahan yang sejati mulai tumbuh.
Redefinisi tentang "Cukup"
Di sinilah muncul urgensi untuk mendefinisikan ulang apa arti "cukup".Â
Cukup bukanlah kekurangan, tapi penanda kedewasaan dalam memaknai hidup. Cukup berarti mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan.Â
Cukup adalah keberanian untuk tidak selalu mengikuti arus, dan memilih jalan yang mungkin lebih lambat tapi lebih penuh kesadaran.
Dalam dunia yang terus mendorong kita untuk memiliki lebih banyak, menjadi lebih cepat, dan tampil lebih sempurna, keputusan untuk hidup cukup adalah tindakan radikal.Â