Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Money

Ilusi Kelas Menengah: Hidup Tampak Mapan, Napas Masih Tersengal

21 Mei 2025   10:57 Diperbarui: 21 Mei 2025   10:57 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang memadati bus Transjakarta dan tangga menuju Halte Transjakarta Slipi Kemanggisan, Jakarta Barat. (KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA)

"Kita sering mengira kita lelah karena bekerja, padahal bisa jadi kita lelah karena terus bertanya: untuk apa semua ini?"

Ilusi Kelas Menengah dan Napas yang Tersengal: Mencari Makna dalam Hidup yang Tampak Mapan

Dari luar, hidup kelas menengah tampak seperti keberhasilan. 

Mereka memiliki pekerjaan tetap, penghasilan stabil, rumah yang dicicil, mobil yang dikredit, dan sesekali bisa liburan. 

Anak-anak mereka bersekolah di tempat yang "cukup bagus". Di media sosial, hidup mereka terlihat rapi, bersih, dan membanggakan. 

Namun di balik semua itu, ada kegelisahan yang terus tumbuh: mengapa semuanya tetap terasa tidak cukup?

Ini bukan tentang kemiskinan, tapi juga belum sampai pada kemerdekaan. 

Kelas menengah hidup dalam wilayah ambang---cukup untuk tidak kelaparan, namun belum cukup untuk berhenti khawatir. 

Mereka berada dalam pusaran ritme hidup yang cepat, sistem yang menuntut produktivitas terus-menerus, dan tekanan sosial untuk "menjadi seseorang". 

Di titik inilah ilusi mulai terbentuk: bahwa kenyamanan sama dengan kemajuan, dan kepemilikan adalah tanda kebahagiaan.

Di Antara Harapan dan Tekanan

Kelas menengah memikul tiga beban sekaligus: harapan mobilitas, tekanan stabilitas, dan ilusi kemajuan. 

Mereka dibesarkan dalam narasi bahwa pendidikan tinggi dan kerja keras akan membawa kehidupan yang lebih baik. 

Namun realitas hari ini menunjukkan bahwa upaya tak selalu sebanding dengan hasil. 

Biaya hidup melambung, harga properti sulit dijangkau, dan tabungan untuk pensiun tampak seperti mimpi jauh. Di sisi lain, mereka tak bisa berhenti. 

Karena berhenti berarti gagal menjaga stabilitas yang telah dibangun dengan susah payah.

Mereka bukan hanya sedang bertahan hidup, tapi juga bertahan dari kehilangan makna. 

Di balik jas kerja yang rapi dan gawai terbaru, banyak dari mereka yang merasa terasing---dari waktu, dari relasi, bahkan dari diri sendiri. 

Di sinilah keletihan itu berakar. Kelas menengah bukan hanya lelah secara fisik, tapi juga secara psikis dan spiritual.

Pilar Peradaban yang Rawan Rapuh

Seringkali, kelas menengah dianggap sebagai penyangga masyarakat. 

Mereka adalah tenaga pengajar, tenaga kesehatan, pekerja profesional, aparatur negara, hingga aktivis sosial. 

Dalam banyak hal, merekalah yang menjaga roda peradaban tetap berputar. 

Namun, ketika mereka mulai lelah dan kehilangan daya juang, dampaknya tak bisa diremehkan. 

Bukan hanya individu yang terguncang, tapi juga sistem yang mereka topang.

Ketika kelas menengah larut dalam ilusi kenyamanan dan mengejar gaya hidup yang tak berkesudahan, kita pun perlahan kehilangan kompas arah. 

Peradaban tanpa kesadaran akan batas adalah peradaban yang berjalan menuju kelelahan kolektif. 

Maka pertanyaannya bukan lagi sekadar bagaimana memperkaya diri, melainkan bagaimana menjaga agar jiwa dan relasi sosial tidak terkikis habis dalam pengejaran yang tak kunjung usai.

Keberlanjutan Bukan Sekadar Tentang Planet

Kita kerap mengaitkan konsep keberlanjutan (sustainability) dengan lingkungan, perubahan iklim, atau krisis sumber daya alam. 

Namun lupa bahwa manusia juga membutuhkan keberlanjutan dalam cara hidupnya. 

Sistem yang membuat manusia bekerja tanpa henti, konsumsi tanpa sadar, dan berlari tanpa arah adalah sistem yang tidak berkelanjutan.

Hidup yang sustainable bukan hanya tentang daur ulang atau energi terbarukan. 

Ia juga tentang kemampuan untuk mengatur ulang prioritas, mengambil jeda, dan menolak tekanan konsumsi yang membutakan. 

Karena jika hidup hanya diukur dari pencapaian dan kepemilikan, maka kita sedang membangun dunia yang rapuh---yang hanya bisa bertahan selama manusia masih kuat menahan napas.

Kelas menengah menjadi titik krusial dalam agenda keberlanjutan manusia. 

Mereka adalah cermin dari aspirasi sosial sekaligus arena pertarungan antara kesadaran dan distraksi. 

Ketika mereka mulai bertanya tentang makna hidup, tentang cukup, dan tentang arah yang lebih utuh, maka benih perubahan yang sejati mulai tumbuh.

Redefinisi tentang "Cukup"

Di sinilah muncul urgensi untuk mendefinisikan ulang apa arti "cukup". 

Cukup bukanlah kekurangan, tapi penanda kedewasaan dalam memaknai hidup. Cukup berarti mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. 

Cukup adalah keberanian untuk tidak selalu mengikuti arus, dan memilih jalan yang mungkin lebih lambat tapi lebih penuh kesadaran.

Dalam dunia yang terus mendorong kita untuk memiliki lebih banyak, menjadi lebih cepat, dan tampil lebih sempurna, keputusan untuk hidup cukup adalah tindakan radikal. 

Ia menuntut keberanian, kejujuran, dan komitmen untuk hidup lebih sederhana namun bermakna. 

Dan dalam pilihan itu, kelas menengah bisa menjadi pelopor arah baru---bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga untuk planet dan generasi berikutnya.

Dari Ilusi Menuju Kesadaran

Ilusi kelas menengah bisa menjadi jebakan, tapi juga bisa menjadi jendela menuju kesadaran baru. Tergantung pada bagaimana kita memaknainya. 

Jika kita terus memaksakan diri untuk mengejar standar yang tidak pernah tetap, maka kita akan kehilangan diri kita sendiri. 

Namun jika kita mulai bercermin secara jujur, kita akan menemukan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada capaian materi, melainkan pada relasi yang sehat, waktu yang cukup, dan hidup yang selaras dengan nilai-nilai yang kita yakini.

Kita tidak perlu menjadi orang kaya untuk hidup dengan tenang. Kita hanya perlu tahu kapan cukup, dan bagaimana menjaga yang sudah ada. 

Dunia ini tidak hanya butuh orang-orang ambisius yang ingin lebih, tapi juga orang-orang bijak yang tahu kapan berhenti.

Penutup: Menyalakan Arah Baru

Masa depan tidak akan dibangun hanya dengan pertumbuhan ekonomi, tapi juga dengan pertumbuhan kesadaran. 

Kelas menengah, dalam seluruh kompleksitasnya, adalah kelompok yang punya kekuatan untuk menyalakan arah baru. 

Mereka punya akses terhadap pendidikan, informasi, dan jejaring sosial. 

Mereka bisa memilih untuk tidak larut dalam kompetisi yang melelahkan, dan mulai membangun kehidupan yang lebih berkelanjutan---secara ekonomi, emosional, dan spiritual.

Dan siapa tahu, dari kesadaran ini akan lahir generasi baru yang bukan hanya nyaman dan bebas, tapi juga bertanggung jawab dan bijak. 

Yang tidak hanya mewarisi bumi, tapi juga merawatnya. 

Yang tidak hanya menikmati hasil kerja keras generasi sebelumnya, tapi juga bersedia menjaga agar napas kehidupan tetap mengalir untuk yang akan datang.

Karena sejatinya, hidup yang bermakna bukan tentang siapa yang sampai duluan, tapi siapa yang tetap utuh saat tiba.

Sumber: KOMPAS.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun