Banyak layanan paylater mengenakan bunga tinggi jika pembayaran terlambat, disertai denda harian atau bulanan. Jika pengguna tidak disiplin membayar, utang bisa membengkak dalam waktu singkat.
2. Perangkap Konsumtif dan Gaya Hidup Boros
Paylater mendorong pola belanja impulsif dan konsumsi yang tidak terencana. Kebiasaan ini berisiko membentuk gaya hidup boros yang sulit dikendalikan.
3. Menurunnya Skor Kredit
Banyak pengguna tidak menyadari bahwa keterlambatan atau kegagalan membayar cicilan paylater dapat tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK OJK). Ini bisa berdampak negatif terhadap kemungkinan pengajuan kredit lain di masa depan, termasuk KPR atau pinjaman usaha.
4. Gangguan Kesehatan Mental
Tekanan akibat utang yang menumpuk sering kali memicu stres, kecemasan, dan gangguan psikologis lainnya. Dalam beberapa kasus ekstrem, beban utang bahkan menyebabkan depresi dan tindakan tidak rasional.
5. Ketiadaan Proteksi Hukum yang Kuat
Layanan paylater dari fintech belum sepenuhnya diatur seketat lembaga keuangan resmi. Jika terjadi sengketa, konsumen cenderung dalam posisi lemah, terutama jika menggunakan layanan dari penyedia yang belum terdaftar di OJK.
Studi Kasus: Pengalaman Negatif Pengguna Paylater
Beberapa laporan media nasional mencatat kasus pengguna muda yang terjerat utang paylater hingga puluhan juta rupiah akibat belanja impulsif. Salah satu kasus yang mencuat adalah seorang mahasiswi yang menggunakan paylater untuk membeli barang-barang fesyen dan kebutuhan sehari-hari. Awalnya tampak ringan, namun dalam hitungan bulan utangnya mencapai lebih dari Rp15 juta karena penumpukan bunga dan denda keterlambatan.