Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (Centers for Disease Control and Prevention/CDC), sekitar 35 juta orang di Amerika Serikat hidup dengan CKD.Â
Namun, angka ini diyakini lebih besar karena banyak kasus CKD tidak terdiagnosis, terutama pada stadium awal.Â
Hal ini disebabkan oleh gejala penyakit yang sering kali tidak spesifik dan perlahan muncul seiring waktu.
Prosedur diagnostik standar untuk CKD saat ini melibatkan pengujian sampel darah dan urin untuk mengukur kadar kreatinin, urea, serta estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR).Â
Meskipun metode ini akurat, mereka memerlukan pengambilan sampel oleh tenaga medis serta laboratorium yang memadai.Â
Oleh karena itu, keberadaan sistem deteksi yang sederhana, cepat, dan tidak memerlukan prosedur invasif menjadi sangat penting, terutama untuk skrining awal di komunitas.
Sensor Napas sebagai Alternatif Diagnostik
Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan mulai mengeksplorasi potensi napas manusia sebagai sumber informasi diagnostik.Â
Napas mengandung ratusan senyawa volatil yang dapat merefleksikan kondisi metabolisme tubuh.Â
Pada penderita CKD, diketahui bahwa terdapat peningkatan kadar amonia, etanol, propanol, dan aseton dalam napas.Â
Senyawa-senyawa ini merupakan hasil samping dari proses metabolisme yang terganggu akibat kerusakan fungsi ginjal.