Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menjodohkan Pertumbuhan Ekonomi dengan Inflasi

14 Februari 2024   19:10 Diperbarui: 15 Februari 2024   03:45 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. Sumber: KOMPAS/CHY

Idealnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi berbarengan dengan inflasi yang rendah. Itulah tujuan semua bangsa yang hendak menyejahterakan rakyatnya. Dalam kenyataanya, menjodohkan kedua tujuan itu memberikan tantangan tersendiri.

Ada ulasan menarik dari editorial Bisnis Indonesia yang membandingkan pendekatan ekonomi era Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Joko Widodo (Jokowi). Ringkasnya, laju ekonomi masa pemerintahan SBY mencapai angka yang tinggi namun disertai inflasi yang tinggi pula. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi masa Jokowi tidak bisa melampaui rekor SBY namun sukses dalam menekan inflasi yang rendah.

Menurut harian tersebut, dengan rata-rata inflasi relatif rendah, pemerintahan Jokowi lebih menekankan pada pembangunan ekonomi melalui pemerataan pendapatan dan kesejahteraan. Konsekuensi dari laju inflasi yang rendah adalah pertumbuhan ekonominya juga terbatas.

Tantangan yang Berbeda    

Laju ekonomi era SBY kerap di atas 6% dan sempat mencapai 6,5% pada 2011. Namun, prestasi itu dibarengi dengan kecenderungan inflasi yang tinggi. Diantaranya, pada 2005 dan 2008, inflasi tahunan sempat menyentuh dua digit yaitu 17,11% dan 11,06% berturut-turut.

Sebaliknya, selama hampir 10 tahun kepemimpinan Jokowi, catatan inflasi tahunan tidak pernah menembus dua digit. Angka yang tinggi terjadi pada 2014 sebesar 8,36% dan 2022 sebesar 5,51%. Selebihnya, inflasi berkisar 3% ke bawah. Tetapi, pada era dimaksud pertumbuhan ekonomi tertinggi hanya 5,31% pada 2022 bahkan sempat terperosok -2,07% pada 2020.  

Manakah yang lebih baik dari dua kondisi tersebut? Jawabannya, tidak bisa dibandingkan karena tantangan yang dihadapi pada tiap era berbeda.

Satu dekade era SBY, Indonesia dihadapkan kekhawatiran dampak rambatan krisis global (great recession) yang bermula dari kasus subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) pada 2008. Saat itu, Indonesia termasuk sedikit dari negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya.

Tidak kalah beratnya, pada periode Jokowi, dunia dihadapkan ujian berat pandemi Covid-19. Perekonomian global nyaris mati karena aktivitas fisik sangat dibatasi. Dengan tersendatnya aktivitas ekonomi maka pertumbuhannya kala itu sempat menunjukkan angka negatif.

Selain pandemi, berbagai ketegangan geopolitik silih berganti, dari perang dagang antara AS dengan China, hingga perang bersenjata di Ukraina, Rusia, Palestina, dan Israel. Ketegangan itu merembet pada persoalan ekonomi seperti terganggunya rantai produksi yang memicu inflasi.

Jodoh Ideal

Pertumbuhan ekonomi yang baik tidak akan banyak berarti jika inflasinya tidak terkendali, begitupun sebaliknya. Meskipun tidak mudah, laju ekonomi tinggi kudu tetap dipacu sembari inflasi dikendalikan.

Sesuai penjelasan Bank Indonesia (BI), inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Memasuki tahun ini, target inflasi yang ditetapkan pemerintah memang semakin rendah yaitu kisaran 1,5% s.d 3,5%. Target yang paling rendah jika dibandingkan histori target sejak 2001.

Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai UU No. 19 Tahun 2023 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditargetkan mencapai 5,2%. Angka itu lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 yang sebesar 5,05%, sesuai rilis Badan Pusat Statistik.

Menurunnya target inflasi disertai naiknya target pertumbuhan ekonomi menunjukkan kepercayaan diri Indonesia untuk mewujudkan kondisi ekonomi yang semakin baik. Keduanya semestinya tercapai secara berimbang. Maksudnya, tidak ada pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun dikompensasikan dengan inflasi tinggi, begitupun sebaliknya.

Laiknya pasangan serasi, pertumbuhan ekonomi tinggi merupakan jodoh ideal dari inflasi yang rendah.

Indonesia Lebih Kuat

Tahun 1997, terjadi krisis finansial di Thailand akibat kebijakan devaluasi mata uang Bath terhadap USD. Krisis itu merembet ke  negara-negara lain terutama Asia Tenggara. Indonesia merupakan negara terdampak yang parah, bahkan mungkin paling parah.

Sudah banyak kajian yang membahas akar permasalahan penyebab Indonesia menderita dampak yang dalam. Secara singkat, dampak tersebut merupakan akumulasi dari beragam persoalan yang terpendam. Tidak hanya persoalan ekonomi, namun juga politik, hukum, dan sosial.

Dari aspek ekonomi, ekonom Anwar Nasution berpendapat bahwa defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial. Mengutip pula pendapat akademisi Universitas Indonesia, Lepi T. Tarmidi, penyebab dari krisis bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang lemah, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah besar.    

Pergulatan Indonesia terhadap krisis moneter itu pun memerlukan waktu yang lama, biaya tinggi, dan pengorbanan besar. Terjadi reformasi yang luas menyeluruh, dari perubahan rezim pemerintahan hingga struktur ekonomi yang fundamental. Sebut saja, pemisahan struktur ketatanegaraan bank sentral  dari pemerintah. Artinya, BI menjadi lembaga independen yang tidak lagi bagian dari kabinet pemerintah.

Dari pembelajaran pengentasan krisis itu, perlahan tapi pasti, Indonesia menjelma menjadi negara yang memiliki daya tahan ekonomi yang jauh lebih kuat. Tidak hanya di Asia tetapi juga di negara-negara lain di dunia.

Buktinya, saat krisis global 2008, Indonesia bersama dengan China dan India merupakan tiga negara Asia yang masih mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi positifnya, sesuai kajian Cambridge University.

Ditambahkan lagi, pasca Covid-19, setelah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, Indonesia membuktikan kemampuan pemulihan yang cepat dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi dari kisaran 3% hingga 5% selama tiga tahun berturut-turut.

Indonesia juga berhasil memegang tampuk Presidensi G20 pada 2022 dan keketuaan ASEAN 2023. Momentum tersebut merupakan pembuktian bahwa Indonesia telah memiliki reputasi tinggi dalam kancah perekonomian dunia. Dalam momentum itu pula, Indonesia membuktikan kemampuannya memimpin transformasi ekonomi digital yang digadang-gadang sebagai pilar ekonomi masa depan.

Dengan sederet pengalaman, pembelajaran, dan pencapaian gemilang itu, Indonesia masih harus tetap melanjutkan upaya penguatan-penguatan sektor ekonominya. Indonesia tidak boleh terlena dengan kejayaan yang selama sekian tahun ini berhasil diperoleh.

Tepat dalam momentum pesta demokrasi, Indonesia akan menghadapi tantangan ekonomi yang berasal dari faktor politik. Pada momentum itu, kehandalan negeri ini akan kembali diuji. Transisi politik perlu dilakukan semulus mungkin demi untuk mencegah timbulnya gejolak yang dapat berpengaruh terhadap kestabilan ekonomi.

Pastinya, pemerintah, otoritas sektor keuangan, dan tidak kalah pentingnya, seluruh masyarakat Indonesia perlu terus berangkulan hangat, menjaga kehamonisan, dan kebersamaan selama pesta hingga berlanjut setelah pesta..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun