Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kiprah Arent Jan Wensick dalam Penomoran Hadis

7 Desember 2018   10:35 Diperbarui: 7 Desember 2018   11:27 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arent Jan Wensinck. || Sumber gambar: islamansiklopedisi.org.tr

Penomoran hadis bisa dibilang sesuatu yang baru dalam keilmuan hadis. 

Hal itu tak lain sebenarnya untuk memudahkan dalam melacak atau juga untuk diingat. Berbeda dengan sekarang, yang mana untuk mencari suatu hadis tinggal search di gawai atau smartphone saja. Akan tetapi ada beberapa hal yang patut kita pahami bersama.

Permasalahan yang sering muncul terkait nomor hadis ini adalah ketidak samaan nomor hadis dalam satu judul kitab. Misalnya: Hadis Shahih Bukhari nomor 400, antar satu kitab dengan kitab lainnya bisa jadi berbeda. 

Biasanya karena percetakannya yang berbeda. Kenapa nomornya berbeda? Karena standar tiap percetakan dalam pemberian nomor juga berbeda. Misalnya ada percetakan yang memberi nomor tiap bab. Ketika masuk bab berikutnya, nomornya kembali dari angka awal. Ada yang memberi nomornya berkesinambungan sampai akhir kitab.

Belum lagi perbedaan dalam hal cara hitung. Ada percetakan yang menghitung hadis meskipun berulang di tempat lain. Ada pula yang tak menghitung perulangan itu. Berbeda muhaqqiq juga beda cara. 


Memang penomoran hadis yang awalnya untuk mempermudah, bisa jadi malah tambah rumit. Apabila ada orang yang ketika menyebutkan hadis berkata di dalam kitab Shahih Bukhari nomor hadis tertentu, mungkin kita bisa tanya dahulu, itu kitab hadis Shahih Bukhari penomoran versi muhaqqiq siapa, percetakan mana.

Silang Pendapat Jumlah Hadis Shahih Bukhori
Kita bisa ambil satu contoh kitab, yaitu Shahih Bukhari., melihat lebih detail terkait perbedaan penomoran hadis. Jumlah hadis Shahih Bukhari menurut pendapat yang masyhur dari Ibnu as-Shalah dan diikuti oleh Imam an-Nawawi adalah 7.275 buah hadis secara terulang. Sedangkan tanpa terulang sekitar 4.000an hadis.  Badruddin al-Aini dan Muhammad bin Yusuf al-Kirmani  sebagai ulama yang ikut mensyarah atau menjelaskan Shahih Bukhari termasuk yang berpandangan sama dengan Ibnu as-Shalah.

Hal berbeda diungkap oleh Ibnu Hajar al-Asqalani Menurut beliau, jumlah hadis Shahih Bukhari; baik yang maushul sanadnya maupun yang muallaq, termasuk mutabaat dengan diulang adalah 9.082 buah hadis. 

Jumlah ini tidak termasuk atsar dari shahabat maupun tabiin yang ada dalam hadis Shahih Bukhari.  Berbeda lagi menurut beberapa ulama kontemporer. Dr. Dib Al-Bugha ketika mentahqiq Shahih Bukhari, beliau mengakhiri Shahih Bukhari pada nomor 7.124. 

Penomoran itu masuk juga hadis yang terulang. Berbeda lagi menurut Fuad Abdul Baqi. Hadis Shahih Bukhari berjumlah 7.563, atau selisih sekitar 439 hadis. Bisa dikatakan Muhammad Fuad Abdul Baqi  ini termasuk ulama kontemporer yang memulai memberi nomor pada kitab-kitab hadis. Kita mau pakai penomoran versi yang mana dipakai? Apakah kita memilih 7.124, atau 7.275, atau 7.563 atau 9.082.

Silang Pendapat Jumlah Hadis Kitab Al Muwattha

Silang Pendapat Jumlah Hadis juga jika berbicara mengenai Kitab al-Muwattha karya Imam Malik bin Anas. Dimana pembawa hadis dari Imam Malik bin Anas ini sangat banyak. Muhammad Mushtafa Adzami ketika mentahqiq kitab al-Muwattha, beliau menghitung setidaknya ada 100 orang yang meriwayatkan kitab al-Muwattha.

Antara satu versi Muwattha dan versi lainnya, beberapa ada perbedaan jumlah hadisnya. Selain karena banyak periwayat dari Imam Malik bin Anas, dalam kitab al-Muwattha ini masih banyak kita temukan pernyataan dari Shahabat Nabi, Tabiin bahkan fatwa dari Imam Malik bin Anas sendiri. Maka standar menomorinya pun beragam.

Dr. Muhammad Mushtafa Adzami ketika mentahqiq kitab al-Muwattha, tak mau mengikuti penomoran dan Muhammad Fuad Abdul Baqi. Dalam Pandangan Muhammad Mushtafa Adzami, Penomoran  yang dipakai oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam banyak tahqiqannya, banyak mengambil dari karya orientalis Arent Jan Wensinck. Muhammad Fuad Abdul Baqi tak memberi nomor jika berasal dari pernyataan Imam Malik bin Anas dalam kitab al-Muwattha. Hadis di Kitab al-Muwattha menurut Muhammad Mushtafa Adzami berjumlah 3.676. Jika menurut tahqiq dari Basyar Awad Maruf jumlah hadisnya ada 3.069. Jika menurut tahqiq dari Abdul Wahab Abdullatif Riwayat Muhammad bin Hasan jumlah hadisnya ada 1.008.

Kontribusi Orientalis Dalam Penomoran Hadis
Bisa dikatakan penomoran hadis itu bukan tradisi dari ulama salaf. Bahkan Imam Bukhari sendiri juga tak menomori hadis di kitabnya. Meski bukan tradisi ulama salaf bukan berarti selalu jelek. 

Mereka seringkali menyebutkan hadis ini riwayat siapa di bab apa dari shahabat siapa. Penomoran hadis itu tidakk jauh beda dengan pemberian warna yang berbeda dalam tulisan sebuah buku kontemporer. Menomori kitab shahih bukhari sebagai bentuk dari model percetakan buku modern.

Permasalahn itu bisa kita runutkan dari pernyataan Musthafa al-Bugha dalam mukaddimah tahqiq hadis Shahih Bukhari bahwa kitab shahih bukhori tersebut banyak kita temukan belum ada seni percetakan modern, seperti antar satu bab dan bab lain ada pemisahnya, hadisnya juga belum ada nomornya atau awalan bab yang berbeda, sehingga menjadikan pembaca mudah untuk mencarinya kembali.

Selanjutnya, salah satu ulama kontemporer pertama yang mencoba menomori kitab-kitab hadis adalah Muhammad Fuad Abdul Baqi. Diantara kitab yang beliau nomori adalah Shahih Muslim, Muwattha Imam Malik, dan Sunan Ibnu Majah. Penomoran hadis yang dilakukan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi ini diilhami oleh salah seorang Orientalis, Orientalis itu bernama Arent J. Wensinck (w. 1939 M); seorang Profesor bahasa Semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri Belanda.

Wensinck membuat kamus untuk mempermudah mencari satu hadis di banyak kitab hadis. Karena sifatnya kamus, harus ringkas dan cepat untuk dilacak. Kamus itu bernama Al-Mujam Al-Mufahras Lil Al-Fadz Al-Hadis An-Nabawi. Kamus ini disusun sebuah berdasar kosa kata alfabetis yang berasal dari 9 kitab hadis; yaitu Kutub As-Sittah, Musnad Ad-Darimi, Musnad Ahmad bin Hanbal, dan Muwaththa Imam Malik.

Dalam penyusunan kamus tadi, Wensinck dibantu orientalis lainnya yaitu Dr. Y. B. Monsej dari Universiti Leiden, Y. B. Dye Hasz, Y. B. Fonne Lone, Y. T. B. Dye Barwin dan Y. B. R. Herman dan  termasuk J. Horovitz. Wensinck juga telah menulis kamus serupa berjudul Miftah Kunuz as-Sunnah; kunci dari sunnah-sunnah. Pertama muncul kamus ini di Leiden tahun 1927 M.

Kamus Miftah Kunuz as-Sunnah diterjemahkan Oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi kedalam Bahasa Arab tahun 1941 M  atas permintaan dari Muhammad Rasyid Ridha dan disebarkan di Mesir. 

Dalam menyusun kamus Al-Mujam Al-Mufahras Lil Al-Fadz Al-Hadis An-Nabawi ini, agar mudah mencarinya maka dibuat simbol nama kitab dan nomor hadis dari 9 kitab hadis tadi. Muhammad Fuad Abdul Baqi menomori beberapa kitab hadis sesuai dengan penomoran pada kamus Miftah Kunuz as-Sunnah dan  al-Mujam al-Mufahras li Alfadz al-Hadis. 

Oleh karena itu, penomoran hadis itu bukan sesuatu yang transenden dan berkaitan siapa yang menomori. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun