Mohon tunggu...
Harisa Khadafiah
Harisa Khadafiah Mohon Tunggu... Mahasiswa Uin Raden Fatah Palembang Jurusan PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Saya Harisa Khadafiah, mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang yang memiliki minat besar pada isu sosial, politik, pendidikan, lingkungan, dan makhluk hidup. Saya juga senang mempelajari perilaku dan karakter manusia, karena percaya bahwa memahami manusia dan alam adalah kunci untuk menciptakan perubahan positif. Melalui tulisan, saya ingin mengajak pembaca untuk lebih kritis dan peduli terhadap berbagai persoalan di sekitar kita, serta berbagi inspirasi demi masa depan yang lebih baik untuk manusia dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Inkompetensi Profesi: Ancaman Tersembunyi yang Lebih Mematikan dari Kejahatan

5 Juni 2025   09:28 Diperbarui: 5 Juni 2025   09:25 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selama ini, masyarakat cenderung merasa waspada terhadap berbagai bentuk kejahatan yang dianggap mengancam keselamatan mereka. Tindak kriminal seperti pencurian, kekerasan, atau pembunuhan memang mudah dikenali dan selalu menjadi momok utama. Namun, di balik ancaman nyata tersebut, ada bahaya lain yang justru lebih mengkhawatirkan dan sering luput dari perhatian, yaitu inkompetensi profesi. Ancaman ini tersembunyi, namun dampaknya bisa sangat luas dan berlangsung lama, bahkan dapat menggerogoti masa depan individu serta merusak tatanan sosial masyarakat. Ironisnya, profesi yang seharusnya dijalankan oleh orang-orang terdidik dan bertanggung jawab, justru kadang diisi oleh mereka yang tidak kompeten. Tidak jarang, ketidakmampuan para profesional dalam menjalankan tugasnya menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar daripada kejahatan konvensional. Seperti yang diungkapkan Prof. Franz Magnis-Suseno, "Inkompetensi dalam profesi adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik yang bisa menghancurkan sendi-sendi masyarakat." (Kompas, 2022).

Salah satu contoh nyata adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyeret nama Profesor Edy Meiyanto. Peristiwa ini tidak hanya meninggalkan luka mendalam bagi korban, tetapi juga memperlihatkan lemahnya sistem pencegahan dan penanganan kasus serupa di lingkungan kampus. Ironisnya, pelaku adalah seorang akademisi dengan gelar tinggi, namun tindakannya justru bertolak belakang dengan nilai-nilai akademik. Proses penyelesaian yang berlarut-larut dan birokrasi yang rumit menunjukkan lemahnya penegakan disiplin di perguruan tinggi. Akibatnya, korban sulit memperoleh keadilan, sementara kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan menurun. Sosiolog Imam Prasodjo menyatakan, "Ketika institusi pendidikan gagal menegakkan keadilan, maka yang rusak bukan hanya individu, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem itu sendiri." (Kompas, 2023).

Kasus serupa juga terjadi di lingkungan aparat penegak hukum. Misalnya, insiden pengeroyokan yang menyebabkan kematian oleh dua anggota TNI, serta kasus Aipda Robig yang tetap aktif meski terlibat penembakan, mengindikasikan lemahnya disiplin dan penegakan hukum internal. Ketidaktegasan institusi dalam menindak pelanggaran anggotanya menjadi cerminan serius dari masalah ini. Alih-alih memberikan rasa aman, aparat justru menimbulkan rasa takut di masyarakat. Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menegaskan, "Ketidaktegasan dalam penegakan disiplin di tubuh aparat adalah cermin dari kegagalan institusi dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung masyarakat." (Tempo, 2024).

Tak hanya di bidang hukum dan pendidikan, masalah serupa juga muncul di dunia media. Banyak program televisi yang seharusnya menjadi sarana edukasi, justru menyajikan tayangan yang kurang mendidik. Kritik Bu Guru Salsa terhadap tayangan-tayangan yang memberikan contoh buruk bagi masyarakat menegaskan kegagalan media dalam menyediakan konten berkualitas. Padahal, guru seharusnya menjadi teladan. Jika media gagal menjalankan perannya, maka pembentukan karakter generasi muda pun akan terganggu. Dr. Effendy Gazali, pakar komunikasi, menegaskan, "Media massa punya tanggung jawab moral membentuk karakter bangsa. Ketika gagal, kerusakannya bersifat sistemik dan jangka panjang." (Republika, 2022).

Dari berbagai kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak inkompetensi jauh lebih luas dan bertahan lama dibandingkan kejahatan yang kasat mata. Ketidakmampuan profesional dalam menjalankan tugas tidak hanya merugikan individu, namun juga menurunkan kepercayaan masyarakat, mengancam stabilitas sosial, dan menghambat kemajuan bangsa. Efeknya memang tidak selalu langsung terlihat, namun dalam jangka panjang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, semua institusi, baik di bidang pendidikan, hukum, maupun media, harus terus meningkatkan kualitas, transparansi, dan rasa tanggung jawab. Setiap pihak perlu berperan aktif dalam mencegah dan mengatasi masalah inkompetensi demi masa depan bangsa yang lebih baik. Ancaman tersembunyi ini tidak boleh diabaikan, karena jika dibiarkan, inkompetensi bisa menjadi racun yang perlahan menghancurkan harapan dan masa depan kita bersama. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah." Profesionalisme dan kompetensi adalah kunci utama menjaga masa depan bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun