Buku ini sebenarnya buku yang dipilih oleh istriku. Tahun lalu,  Ketika berada di toko buku gramedia supratman Bandung saya menawari istri untuk memilih buku yang dia inginkan, tak disangka ia memilih buku ini, berani bahagia. heran dengan pilihannya, saya pun bertanya, "kenapa pilih buku ini?". "Ini kan buku lanjutan dari buku berani tidak disukai yang abiy pernah baca, bukan?", jawabnya. Saya pun tersipu, ternyata ia tetap mengingatku dalam kemerdekaannya memilih buku. Tak ayal ada dorongan lebih bagi saya dalam membaca dan memahami buku ini. Buku sekuel  ini seperti buku pertamanya masih berisikan percakapan antara seorang pemuda dan seorang filsuf yang memegang erat psikologi adler. Psikologi adler yang pada buku pertama tampak lebih umum, dibahas lebih klinis pada buku kedua ini. ia mengangkat tema seperti pendidikan, sosial, bahkan cinta yang seringkali kelu ketika dibahas dalam buku-buku self-development. Tema utamanya memang tentang bahagia, tapi bagaimana cara memperoleh kebahagiaan itu lah sangat menarik dalam suguhan buku ini. Rasa hormat dan rasa cinta menjadi awal pembahasan yang begitu berakar. Dua frasa kata tersebut ternyata memiliki akar yang sama bahwa ia tidak didapatkan melainkan dengan penerimaan bukan keterpaksaan layaknya rasa takut. Rasa hormat adalah gerbang memahami hubungan interpersonal yang menjadi inti dari psikologi adler. Menurutnya, semua persoalan manusia berasal dari hubungan interpersonal dan pun kegembiraan terbesar manusia berasal dari hubungan interpersonal. Seperti koin bermuka sama yang hanya berdasarkan pemahaman kitalah nilai koin tersebut ditentukan. Kejadiannya hanya satu, tapi bisa berbeda berdasarkan ragam kemungkinan interpretasi yang kita miliki. Begitu Pula tentang kebahagian yang selalu berawal dari diri kita sendiri. Kita yang menentukan nilai diri kita sendiri bukan orang lain. Kita pula yang harus berani memulai hubungan interpersonal yang luhur, hubungan pertemanan alih-alih hubungan pekerjaan, termasuk pada murid-murid kita sekalipun. Dimana percaya tanpa syarat menjadi pondasi dari pertemanan. Kita pula yang harus berani mengambil langkah awal untuk mencintai bukan menunggu untuk dicintai. Inilah hal-hal yang membawa manusia pada perasaan sosial yang utama, yaitu perasaan berkontribusi pada sesama yang merupakan pangkal dari kebahagiaan dalam menjalani tugas-tugas kehidupan manusia. Â
: :
Artinya: "Jabir radhiyallau 'anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia." Hadits dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami' (no. 3289).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI