Mohon tunggu...
Hariman A. Pattianakotta
Hariman A. Pattianakotta Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penyuka musik

Bekerja sebagai Pendeta dan pengajar di UK. Maranatha

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Politik Hospitalitas dan Penegakan Hukum

20 November 2020   12:40 Diperbarui: 20 November 2020   23:06 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi politik dan hukum di Indoensia. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Desmon Tutu, peraih nobel perdamaian yang menentang politik diskriminatif di Afrika Selatan mengatakan "tidak ada perdamaian tanpa pengampunan." Desmon Tutu, Nelson Mandela, mereka adalah pelaku politik hospitalitas. 

Mereka berbesar hati memberikan pengampunan untuk para pelaku kekerasan, kebencian, dan penggerak politik diskriminatif. Nelson Mandela, sang korban politik diskriminatif itu pernah dipenjara dan diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Namun, ketika ia menjadi presiden Afrika Selatan, ia tidak membalas perbuatan barbar itu. Ia memilih jalan politik pengampunan.

Politik hospitalitas ini yang mesti kita hidupi sebagai anti tesis terhadap politik hostilitas. Para politisi dan masyarakat secara luas perlu menghayati dan menghidupi spirit politik hospitalitas ini dalam relasi-relasi sosial sehari-hari.

Penegakan Hukum

Pertanyaannya, apakah politik hospitalitas itu meniadakan penegakan hukum? Tentu tidak. Tanpa hukum, kita tidak bisa menjamin bahwa politik hospitalitas itu akan hidup dan menjadi budaya sebuah negara. 

Tentu, hukum yang dimaksudkan di sini bukan sekadar hukum di atas kertas, tetapi juga soal penegakan hukum itu sendiri. Dalam pengalaman, hukum sering tajam kepada rakyat kecil, orang-orang minoritas dan kaum papah, tetapi tumpul terhadap penguasa, pengusaha besar, dan orang-orang tertentu yang berpengaruh. 

Aparat penegak hukum kerap tidak berlaku objektif, melihat muka, dan tak jarang ikut terseret ke dalam sentimen primordial sehingga lumpuh dalam penegakan hukum. 

Dalam kasus-kasus intoleransi di Indonesia misalnya, kerapkali kita melihat aparat keamanan justru kalah dengan gaya premanisme yang memakai simbol-simbol agama. Bukan mengamankan dan menghukum para pelaku, tetapi para korbanlah yang justru "diamankan." 

Dalam masa pandemi ini pun kita bisa melihat perbedaan sikap aparat keamanan dan BNPB. Di satu tempat ada pembiaran, bahkan difasilitasi, namun di Papua orang-orang ditangkap, bahkan sampai diborgol; terkesan sangat berlebihan dan diskriminatif. 

Hukum dan aturan mesti ditegakkan tanpa memandang muka. Dengan penegakan hukum, kita membangun budaya egaliter dan kehidupan yang ramah dengan perbedaan, sebab hukum menjamin kesederajatan setiap orang dan menjaga perbedaan. 

Dengan hukum, tak ada dominasi mayoritas ataupun tirani monoritas. Tidak ada anak tiri atau anak emas. Tak ada fovoritisme dalam hidup bernegara dan penegakan hukum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun