Kini, para-para luas itu dijadikan lapangan badminton oleh pengelola, mungkin tujunnya untuk menghilangkan kesan angker. Karena begitu besarnya areal para-para ini, hingga mampu memuat 2 lapangan badminton!

Kelas pribumi dan kompeni
Hal unik lain yang saya temukan di Lawang Sewu adalah mengenai kentalnya aura kolonial di sana. Kala itu, pekerja jawatan kereta api dibagi ke dalam dua kelas. Pribumi atau Inlander dan orang Belanda.Â
Pekerja Belanda ditempatkan di jabatan-jabatan strategis seperti kepala departemen atau kepala divisi, sedangkan inlander ditempatkan di posisi-posisi bawah yang tidak strategis seperti urusan umum, arsip atau urusan kebersihan. Seragam pribumi menggunakan baju coklat atau baju adat jawa, sedangkan pekerja Belanda menggunakan seragam putih-putih bertopi khas kompeni.


Gedung depan inilah yang dilapisi ornamen-ornamen dekoratif yang kaya ukiran dan hiasan kaca-kaca perca. Sedangkan pribumi ditempatkan di bagian belakang gedung yang dibangun alakadarnya. Tak ada hiasan dinding atau kaca perca. Ruangan-ruangan dibangun begitu komunal dan tak terkesan eksklusif sama sekali.
***
Lawang sewu dibangun pada awal abad 20 saat politik kolonialisme menjajaki masa moderen, masa yang diilhami dari kesadaran Belanda untuk membangun wilayah jajahannya terutama dalam bidang transportasi. Jaringan kereta api yang menjalar di pulau jawa, kantor pemerintahan dan kantor jawatan kereta api yang megah seolah menjadi pertanda bahwa pemerintah kolonial belanda melihat masa depan cerah di depan Hindia Belanda.
Era kecerahan itu nyatanya tak berjalan lama. Tepat empat puluh tahun sejak gedung ini dibangun, pemerintah Belanda dibawah kekuasaan Sri Ratu harus menyerah tanpa syarat kepada kekaisaran jepang. Semua aset dan bangunan diambil alih, tentara dan kekuatan dilumpuhkan. Andaikata Belanda tau hal ini akan terjadi, mungkin Lawang Sewu tak pernah dibangun.
