Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jejak Jalan Sawit di Sukabumi

12 November 2020   03:59 Diperbarui: 12 November 2020   04:27 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya teh ga tau kapan jalanan dan warung ini dibangun. Tapi sejak lahir juga sudah ikutan jaga di sini. Ikut orangtua," jawab Ike, gadis manis berjilbab di warung sekitaran Cikadang, Sukabumi. Dari beberapa orang penjaga warung di sini, memang tak ada yang bisa secara pasti mengingat kapan warung mereka dibangun. Beberapa sudah berpindah tangan karena dijual pemilik aslinya. Bahkan ada yang sampai ketakutan saya tanya.

dokpri
dokpri
"Oh saya pikir Si Akang mau survei tanah untuk digusur, sampai tanya-tanya sejarah warung ini. Kita jadi cemas. Hahaha." Hanya seorang lelaki bernama Dahlan yang bersedia memberikan keterangan agak lebih lengkap.

"Saya memang bukan orang sini. Tapi sudah beberapa tahun belakangan suka main ke Sukabumi, untuk jalan-jalan, berwisata melepas lelah sehabis kerja." Jawabnya saat saya tanya keperluannya ada di warung itu.

"Saya ini orang Palembang. Tapi setahu saya jalan ini memang sudah ada sejak zaman dulu juga. Tapi bentuknya jalan setapak yang kemudian jadi jalan bebatuan. Sebelumnya ini kebun teh, lalu jadi kebun sawit, kemudian muncul kebutuhan jalan yang lebih baik untuk mengangkut sawit," tembahnya lagi.

dokpri
dokpri
"Sejak kapan kebun-kebun itu berubah jadi sawit?" Tanya saya.

"Mungkin sejak dua puluhan tahun lalu. Saya tidak tahu pasti."


dokpri
dokpri
Mengingat pengakuan Ike bahwa ia kini berumur 18 tahun dan sebentar lagi menamatkan SMAnya, maka bisa ditebak warung-warung yang ada di jalanan menuju tempat wisata Pelabuhan Ratu juga bisa jadi muncul sejak munculnya perkebunan sawit.

"Dikira-kira saja itu pohonnya kan sudah cukup tinggi, Seperti itu dalam beberapa tahun lagi harus ditanam ulang karena sudah tua," jawab seorang penjaga warung yang tak mau disebutkan namanya. Dari tingginya yang sudah mencapai 5-6 kali tinggi orang dewasa, saya perkirakan memang umurnya dua puluhan tahun.

"Memang dengan jalan pintas ini, tidak lewat jalan raya menuju Kota Sukabumi dulu, jadi lebih mudah menuju Pantai Pelabuhan Ratu, lebih cepat sekitar setengah hingga satu jam," terang Dahlan.

Jalan pintas Cikidang ini memang lebih cepat, asalkan kita mengendara dengan hati-hati. Berbelok dari pertigaan Cibadak, langsung tembus ke Pelabuhan Ratu, alih-alih berputar dulu ke Cimanggu.

dokpri
dokpri
"Memang warung-warung itu munculnya teh sejak ada kebun sawit PTPN," ucap Kang Dede, seorang pedagang Baso di dekat pertigaan menuju Saolin. 

"Bahkan dari cerita yang saya dengar dari orang-orang, pemilik sawit pun sengaja membiarkan tanah di pinggiran jalan itu dibangun warung. Justru supaya jalanan itu tidak terlalu lengang, sehingga mengundang begal. Sekarang sudah hampir seluruh pinggiran jalannya ada warung, kan? Dulu gelap semua itu," Kang Dede menambahkan.

"Tapi itu cuma cerita warga sekitar, ya. Cerita saja.."

kios-sawit-5fac48848ede4864d3668e32.jpg
kios-sawit-5fac48848ede4864d3668e32.jpg
Warung Kang Dede sendiri berdiri di tepian Kebun Sawit, di jalan Simpang Lio - Bumisari. Bedanya, ia mendirikan warung itu setelah ada sebuah villa berdiri di depannya, lengkap dengan Waterpark. Anakraja Resort namanya. Ia mengaku beruntung bisa ikut membuka usaha bakso bersama mertuanya di sana, setelah sebelumnya luntang-lantung terkena PHK pada masa pandemi.

dokpri
dokpri
"Villa ini baru diresmikan beberapa minggu lalu. Pemiliknya sengaja membuatkan deretan lapak makanan di sini untuk membuatnya tambah ramai dan bisa melayani kebutuhan makanan para tamu," ungkapnya lagi.

"Tapi dulu juga sekitaran sini kebun sawit. Bedanya yang sekitaran sini biasanya punya warga sekitar. Kalau ke arah bawah sana baru punya PTPN."
Menjelang Pelabuhan Ratu, di sekitaran Sungai Citarik, saya menemui penjaga bumi perkemahan Bravo Adventure, bernama Alif. Ia juga membenarkan bahwa sejak terbukanya jalan pintas Cikidang, banyak titik-titik wisata baru bermunculan, termasuk perkemahan dan rafting di sekitaran sana.

dokpri
dokpri
"Sepertinya iya ya, setahu saya Arus Liar, pusatnya arung jeram yang di bawah itu sudah ada sejak tahun 1985. Memang jadi ramai setelah jalanan di sini diaspal setelah ada kebun sawit,"

Bravo Adventure sendiri baru berdiri beberapa tahun lalu. Namun keberadaannya turut memberikan pekerjaan kepada warga sekitar.
"Saya sendiri dulu berkerja di pertambangan sekitar sini. Setelah ditutup, kehilangan pekerjaan. Sekarang saya bersyukur lah diterima bekerja di tempat wisata ini," tutur Pak Dedeh, ikut memberikan keterangan.

Dari hasil pencarian di internet, daerah menjelang Pelabuhan Ratu dulunya memang banyak pertambangan, beberapa di antaranya pertambangan liar yang merusak lingkungan dan berkali-kali ditertibkan. Kini tak banyak lagi pertambangan tersebut yang eksis. Gantinya, banyak sekali hotel, perkemahan, dan spot arung jeram yang didirikan.

dokpri
dokpri
"Kalau bicara sawit mah, sebenarnya tidak semua juga sukses dan bikin makmur. Tapi pemilik lahan tidak menyerah. Mereka malah menjual perumahan dan tempat wisata yang dipadukan dengan kepemilikan lahan sawit. Jadi sambil beli properti, sekalian punya kebun yang menghasilkan, hehe," Tambah Pak Dedeh lagi.

Tentunya keberadaan kebun sawit tidak lepas dari kritik. Alif mengungkap kekhawatirannya terhadap eksistensi wisata arung jeram.

"Kebun sawit itu setahu saya kan rakus air. Nah itu saya lihat ada efeknya terhadap sungai di sini. Dulunya selalu airnya deras. Sekarang hanya kalau musim hujan saja airnya cukup banyak. Kalau kemarau seperti ini airnya minim, kami harus mengurangi kapasitas, dibatasi penumpangnya," demikian argumennya.

dokpri
dokpri
Namun jika melihat bahwa di sekitar sungai yang ada di sana justru ditanami berbagai tumbuhan selain sawit, saya masih skeptis dengan kesimpulan itu. Yang saya lihat justru penanaman sayur dan singkong yang membuat lahan harus dibuka di sekitar daerah aliran sungai. Tapi bagaimanapun kritik yang ia ungkapkan harus didengarkan sebagai sebuah masukan berharga.

dokpri
dokpri
Dan di sekitar Cikidang, saya masih melihat kawanan monyet yang tidak takut kepada manusia. Badannya terlihat gemuk dan bulunya lebat. Tidak terlihat tanda-tanda mereka merasakan kesengsaraan atau kekurangan gizi akibat adanya kebun sawit di sekitar. 

Tiba di Pelabuhan Ratu, saya meneruskan kebiasaan saya mencari kuliner khas daerah setempat. Begitu masuk pasar tradisional, mata saya tertumbuk kepada sebuah bunga-bungaan berwarna merah.

"Mau? Ini teh kecombrang. Cuma ada kalau musim," kata ibu-ibu penjualnya.

Saya membeli dua ikat, dengan tambahan petai cina sebagai pelengkap, ditambah tempe dan jamur. Lalu di tepi pantai, saya melihat lapangan luas yang dipakai untuk menjemur sejenis biji-bijian.

dokpri
dokpri
"Ini Kapol. Apa ya dalam Bahasa Indonesia?" kata seorang pemuda melihat ke arah rekannya. 

"Kapulaga? Tah eta.. kapulaga. Kalau sudah kering, harganya bisa mahal sekali. Rp 200 ribu sekilo." Tambahnya lagi setelah terdengar sayup-sayup terdengar teriakan dari arah rumah. Di rumah itu tertulis "Jasa Pijat". Saya pun berhenti sekalian meminta diurut refleksi.

Orang yang berteriak itu ternyata bernama Abah Jawa, demikian penduduk sekitar memanggilnya.

"Ayo, sini saya urut. Wah bawa sayuran sekalian, buat apa?" Tanya Abah Jawa.

"Buat minta tolong dimasakkan oleh warga. Abah bisa masak?" Tanya saya. Ternyata rumah itu dihuni beberapa orang pria yang mengontrak bersama.

"Boleh, kita juga di sini lajang semua. Biasa masak sendiri." Kata Abah Jawa sambil menotok beberapa bagian dari kaki saya yang terasa sakit karena kelelahan mengendarai motor lebih dari enam jam dari Jakarta. Saya berteriak-teriak menahan sakit.

dokpri
dokpri
Usai diurut, Abah Jawa menepati janjinya. Ia segera menuju dapur untuk menyiapkan peralatan masak. Yang lain bekerjasama mengupas petai cina yang saya bawa. 

"Ini petai cina ngapain kamu beli? Petik saja di sekitar sini banyak. Tumbuh liar. Gratis teu perlu bayar." Abah Jawa tertawa.

dokpri
dokpri
"Nah kalau kecombrang, bagusnya jangan cuma bunganya yang dibeli. Buahnya yang bundar itu juga enak disantap. Asam-asam kecut. Dipakai ngerujak enak," sambil tangannya terus membongkar kantong plastik yang saya bawa. Kang Maman, rekan serumahnya, menawarkan diri untuk membeli nasi dan lauk lainnya. Rp 70 ribu ternyata cukup untuk membeli bahan makanan untuk 8 hingga 9 orang.

dokpri
dokpri
Santap siang itu terasa begitu nikmat. Barangkali karena saya sendiri juga sudah kelaparan karena terlambat makan. Nasi sekepal kecil, dilengkapi ikan asin, sambal kecombrang, tumis tempe, jamur tiram, dan petai cina.  Begitu sederhananya masakan rumahannya Orang Sunda. Penuh dengan menu sayuran dan protein nabati. Pantas mereka awet muda, langsing, dan kulitnya halus.

"Kita senang ada orang kota mau duduk bersama makan ala kadarnya begini," Kata Kang Maman sambil terus menyuapkan nasi dengan lahap.

"Sudah kebiasaan saya mengajak serta makan warga sesuai dengan masakan rumahan mereka, Kang. Jadi bisa lebih akrab dan dapat keterangan lebih banyak untuk bahan tulisan," jawab saya.

"Sebenarnya banyak sekali tempat wisata di dekat Pelabuhan Ratu ini. Tapi memang yang ada di tengah-tengah kebun sawit adanya di sekitar Cikidang sana," Kang Maman menginfokan. "Sekitaran Saolin juga ada beberapa," keterangannya makin menguatkan fakta yang saya dapatkan sebelumnya.

dokpri
dokpri
Sebelum beranjak dari Pelabuhan Ratu, saya juga sempat mencicipi Baso Ikan Marlin. Enak sekali rasanya. Padat dan tidak amis seperti baso ikan lainnya. 

dokpri
dokpri
Bicara mengenai tempat wisata, di sekitar Malingping, Banten, juga saya temukan beberapa spot wisata disekitaran kebun sawit. Misalnya Curug Sewu yang merupakan pemandian air deras yang melintasi kebun sawit. Tentunya pariwisata seperti ini mustahil muncul kalau memang tuduhan sawit rakus air itu benar terjadi.

dokpri
dokpri
Sayangnya waktu saya berkunjung ke sana, Curug Sewu ditutup, tampaknya karena alasan pandemi COVID19. Hanya seorang pemuda dengan motornya yang mau memberikan keterangan ke saya.

"Ini harusnya ramai, Bang. Tapi hari ini tutup. Saya tadi bareng teman-teman, tak jadi mandi di sini. Mereka pulang duluan, saya duduk-duduk saja menyaksikan pemandangan," jelasnya.

dokpri
dokpri
Di tempat ini memang pemandangannya jadi bagus sekali karena pohon tua yang sudah tinggi sekali ditebang beberapa menjadi sebuah lapangan luas dengan beberapa saung untuk duduk-duduk. Pemandian ada di bagian bawah, di tengah pohon sawit, nira, kelapa, dan bambu. Terlihat dikelola profesional.

dokpri
dokpri
Menjelang Pantai Sawarna, berbelok ke arah barat, kita bisa menemukan spot Pantai Badegur. Untuk mencapai pantai ini, kita harus melewati jalanan di tepi kebun sawit. Sekitar 20 meter dari ujung kebun sawit, saya melihat pemandangan matahari terbenam yang cantik sekali.

dokpri
dokpri
Memang belum ramai dan terkenal, namun justru itulah kelebihannya dibanding Pantai Sawarna yang sudah terlalu sesak dari wisatawan.  Di tempat ini saya hanya melihat dua atau tiga orang berlalu lalang. Selebihnya hampir seperti memiliki pantai privat. Begitu khusyu pantai ini.

Namun itu bukan berarti pantai ini tidak ada peminat sama sekali. Di sekitarnya, saya lihat ada hotel dan homestay yang berdiri. Mungkin hanya menunggu waktu untuk pantai ini menjadi populer dan sama ramainya dengan Pantai Sawarna.

dokpri
dokpri
Munculnya tempat-tempat wisata indah di sekitaran Kebun Sawit bukanlah sesuatu yang mustahil. Mungkin yang diperlukan hanyalah membuatnya terintegrasi menjadi agro wisata. Pemeliharaan dan panen sawit sendiri bisa menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi orang kota yang sudah jenuh dengan segala aktivitas rutin, seperti juga agrowisata padi, jagung, atau ikan yang sudah lebih dahulu populer.

Kenapa tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun