Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Toraja, Tak Selamanya Soal Upacara Kematian

13 Oktober 2019   23:56 Diperbarui: 14 Oktober 2019   00:02 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Oh iya, di sini memang orang sangat serius menjalankan ibadah, Mas," jawab Zed. "Ditutup mungkin supaya tidak berisik mobil yang lewat dan klakson," Jawabnya saat saya bertanya mengapa dari kejauhan terlihat tidak banyak mobil yang parkir.

"Di sini gerejanya hampir tiap beberapa puluh meter sekali, dan yang datang biasanya warga di sekitarnya," Jelas Zed lagi. Ya mirip juga kalau di Jakarta, masjid pun dibangun berdekatan. Mungkin karena gereja tidak menggunakan panggilan azan dan jamnya tidak serentak, maka tidak terdengar terlalu ramai layaknya azan Subuh berkumandang di ibukota.

dokpri
dokpri
"Tanduk dan tengkorak kerbau di rumah adat itu berarti semacam status sosial dan kebanggaan. Semakin bertumpuk ke atas, semakin sering keluarga pemilik rumah tersebut mengadakan pesta dan perundingan adat," Jelas Zed lagi saat kami berhenti di salah satu rumah.

"Selain itu, nanti juga terlihat dari kembang apinya," Terusnya lagi. "Lah apa hubungannya sama kembang api?" Tanya saya heran.

"Ya kalau mendekati akhir tahun, maka seluruh perantau dari Toraja akan pulang kampung dan berkumpul. Tiba-tiba seluruh Toraja akan ramai. Dan dimulailah persaingan kembang api di pergantian tahun," Jawabnya sambil tertawa.

"Makin besar ukurannya, makin berisik suaranya, makin terang cahayanya, maka makin mahal harga kembang apinya, bahkan bisa sampai mencapai jutaan rupiah. Hahaha," Jelas Zed yang kemudian disalip Wardhana, "Dan yang paling penting juga, durasi kembang apinya."

jesus-5da351a2097f367f5731e552.jpg
jesus-5da351a2097f367f5731e552.jpg
Sesampai ke puncak Bukit Buntu Burake, tempat Patung Yesus, barulah saya terpana. Wisata di sini diatur sangat rapi, terlepas dari kios-kios oleh-oleh warga yang baru berupa bangunan non permanen dengan bahan kayu dan papan. 

Walaupun dari jauh yang terlihat hanya patung Yesus, namun saat sampai, kita bisa berkeliling, mencoba spot sayap yang instagrammable, lalu berjalan di atas kaca transparan, menatap ketinggian jurang di bawah.

Sambil berkeliling, kita juga bisa melihat bagian pinggang bukit yang diselimuti awan. Samar-samar di bawah, kita bisa melihat indahnya perumahan tradisional dan kebun-kebun warga. Sambil menikmati pemandangan, kami memesan opak khas Toraja. Mirip dengan opak di Jakarta, tapi di sini dibalur dengan gula merah sehingga jadi manis gurih. 

Opak Toraja, dokpri
Opak Toraja, dokpri
"Tanah di sini cenderung cadas dan berbatu, jadi di Toraja jarang ada sawah, hanya beberapa. Sisanya tanaman keras seperti kopi." Jelas Zed.

negeri-di-awan-2-5da352e2097f365f04163154.jpg
negeri-di-awan-2-5da352e2097f365f04163154.jpg
Saya jadi paham mengapa kopi dari Toraja begitu enaknya. Daerah ini adalah salah satu titik tertinggi di Sulawesi. Cahaya mataharinya cukup banyak karena tidak dinaungi pepohonan, namun sekaligus tidak terlalu terik karena hembusan angin dari gunung semilir namun cukup menusuk hingga membuat kita menggigil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun