"Saya mau bertualang lagi, Om Bud," kata saya saat sekalian bertamu ke rumah Budiman Hakim di Cibubur tanggal 22 Agustus 2019.Â
"Oh ya? Ke mana? Naik apa?" Dia bertanya, penasaran agaknya.Â
"Ya ke mana kaki melangkah, kan begitu yang namanya traveling, Haha," jawab saya sekenanya.Â
"Oh gue waktu muda juga rajin backpacker-an!" Katanya menimpali.Â
"Sampai keliling Eropa!" Tambahnya lagi.
Ya, kalau dibanding saya, memang Om Bud rasanya jangkauannya lebih luas. Tapi saya sudah bertekad mau setidaknya keliling Indonesia sekali saja dalam seumur hidup. Dan nanti petualangannya akan dicatatkan dalam sebuah buku, sesuai prinsipnya Om Bud,Â
"Sebelum mati minimal buatlah satu buku," Om Bud, demikian kami memanggilnya di dunia kreatif, terkenal sebagai salah satu copywriter terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.Â
Tentu pesannya ini bermakna dalam, bukan main-main. Dan saya sudah bertekad akan mewujudkannya dalam sebuah cerita traveling murah-meriah ke seluruh Indonesia.

"Ga ada waduk di sini. Adanya mah di Cianjur sana," jawab seorang warga saat saya tanyakan di jalan.
Bodohnya saya, sebelum pergi tidak mengecek dulu. Ternyata benar bahwa Waduk Ciawi-Sukamahi ini masih satu atau dua tahun lagi terwujud karena masih tahap pembebasan lahan.Â
Diharapkan dengan adanya waduk ini, air hujan dari Bogor akan tertahan sebelum membanjiri Jakarta, sehingga banjir di Jakarta berkurang hingga 30 persen. Setelah saya lihat posisinya di Google Map ternyata nantinya akan memotong jalur puncak dari Bogor ke Bandung.

Padahal jalur puncak ini dulu menjadi kenangan saya saat masih sekolah di SMA 3 Bandung, sebelum akhirnya kereta Parahyangan dan jalur bus Cikampek menjadi lebih populer karena relatif lebih bebas macet.Â
Meskipun kini di kiri kanannya telah sepi karena tidak ada lagi kafe dan restoran, namun warung-warung kecil warga yang tersisa membangkitkan kenangan tersendiri.
Begitulah, setelah bermalam di salah satu kafe di Bogor, akhirnya saya memutuskan berkeliling dulu sebentar di Ciawi mencari-cari makanan unik yang bisa dijadikan bahan tulisan. Cukup Rp 4.000 dari Terminal Baranangsiang, Bogor, naik angkot hijau bertuliskan kode 03.Â
Dan tepat di persilangan Jalan Raya Ciawi-Sukabumi dan jalur puncak, saya menemukan sebuah rumah makan kecil. Sebenarnya hanya rumah makan biasa, namun di pojoknya ada tulisan Bubur Rendang.

"Sama es jeruk ya!" Si Teteh di dalam langsung menyanggupi dan terhidanglah hidangan itu di meja. Ternyata bubur rendang itu semacam bubur ayam yang potongan daging ayamnya diganti rendang.

Harganya sendiri relatif tidak mahal. Dengan berbagai tambahan pesanan minum, kerupuk, kacang, dan pisang, saya hanya ditagih harga yang sangat ringan.
"Dua puluh enam ribu Rupiah", jawab Mamangnya setelah saya menyebutkan apa saja yang tadi saya habiskan. Lebih lanjut saya tanyakan bagaimana mencapai Cianjur melalui jalur puncak.Â
"Itu di persimpangan sana, naik saja bus putih", info dari Si Mamang.Â
"Bus tiga perempat?" Tanya Saya berusaha meyakinkan.Â
"Iya yang tiga perempat, bus pendek," jawabnya berusaha meyakinkan.
Bukan apa-apa sih, waktu di perjalanan menuju Cilacap, bus tiga perempat yang saya dapatkan adalah bus tua dan tidak ada AC. Walaupun saya tidak masalah juga naik bus tanpa AC, tapi jelas yang menggunakan AC lebih nyaman.

Ongkosnya juga ringan, Rp 25-30 ribuan, tergantung bus jenis apa yang dinaiki. Memang ada sih pengamen naik, tapi itu rasanya itu sudah jadi tradisi kendaraan umum di jalur puncak dari dulu.Â
Jadi saya nikmati saja sambil melempar pandangan keluar jendela sambil mendengarkannya. Indah sekali, perkebunan, beberapa ternak kambing yang melintas, dan jalanan kecil yang meliuk-liuk, nyaris tidak ada yang berubah dari jalur puncak selain hilangnya restoran dan kafe besar.
Lalu sayup-sayup suara gitarnya mengantar saya ke alam mimpi.
"Siap-siap, dikit lagi Cianjur, A", seru kondekturnya sambil mempersilakan kami turun untuk buang air di SPBU menjelang Cianjur.Â
Pengaturan kandung kemih diperlukan karena bus hanya akan berhenti untuk mengisi bahan bakar, itupun tidak menunggu lama. Karena itulah saya menahan untuk tidak minum terlalu banyak sebelum naik bus. Kalau tidak, bisa berabe menahan pipis berjam-jam.

Terasa beda sekali beda tahu yang digunakan dibanding kupat tahu yang saya makan di Pangandaran. Di sini ketupatnya jauh lebih lembut dan manis, sementara tahunya tidak garing dan renyah seperti di Pangandaran.

Dan karena ingin santai berolahraga menikmati suasana Cianjur, saya memilih jalan kaki saja. Toh jalannya turunan, jadi tidak perlu banyak berkeringat. Udara Cianjur juga cukup sejuk.
Sesampai di pasar dekat terminal, saya celingukan mencari tempat makan siang. Alhamdulillah bertemu kafe yang menyediakan bakakak ayam di bawah jembatan penyeberangan.Â
Ayam bakakak sebenarnya ayam panggang yang biasa kita temui di banyak rumah makan, namun bumbunya agak pedas dan wangi. Tampaknya ditambah kencur. Begitu pun sambelnya, pedas karena cabe yang digunakan mentah dan juga ada selayang bau kencur.

Tersajilah seekor utuh bakakak ayam, dengan harga Rp 50.000. Sebenarnya ini tidak mahal-mahal amat karena bisa dinikmati 6-7 orang.

Dalam setengah jam, angkot sampai di Jembatan Cisokan dengan ongkosRp 7.000. Haus, saya mendatangi warung setempat dan sekaligus bertanya angkot berikutnya ke Waduk Cirata.Â
"Naik saja yang hijau putih. Kalau ojek agak jarang di sini." Kata salah seorang penjual cireng. Maka saya melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi ke dalam, tepatnya Desa Jangari dengan ongkos sama, Rp 7.000.
Dan akhirnya setelah 45 menit perjalanan, saya sampai juga di Waduk Cirata. Alhamdulillah...pikir saya. Pukul 3:00 sore saya masih punya kesempatan berkeliling mencari spot terbaik untuk mengambil foto sunset.

"Daerah ini baru mau direnovasi jadi tempat tempat wisata yang bagusan," jawab Ibu-Ibu pedagang ikan bakar saat saya tanyakan apakah tidak ada penginapan di sekitar sini.Â
"Saya sih senang aja kalau ada kesempatan bangun tempat menginap atau hotel. Tapi takutnya nanti ada penataan, rugi kalau dibangun Cuma buat digusur lagi," Keluhnya.Â
Ini mungkin juga bisa menjelaskan mengapa sebagian waduk ini terlihat kumuh, belum terlalu dirawat oleh warga sekitar. Potensi wisata Waduk Cirata mungkin selama ini belum disadari. Jangankan tempat menginap, wc umum yang layak pun belum banyak tersedia.

Karena itulah saya kemudian memutuskan meminta izin kepada ibu-ibu pemilik warung lesehan ikan yang tidak bernama, untuk tidur di warungnya hingga menjelang subuh. "Ya boleh saja, silakan. Tapi di sini dingin dan banyak nyamuk, tidak apa-apa?"Â
Tanyanya. Karena itu sekalian saya pesankan minuman dan lotion penolak nyamuk di warungnya. Lumayan bisa menikmati suasana senja hingga dini hari di tepian waduk yang indah.


Saya hanya memotret hingga pukul 5:15, padahal sunset terbaik biasanya dimulai pukul 5:30 hingga 6:00. Jadi saya putuskan menginap, menunggui matahari terbit keesokan harinya.
"Minta ikan bakarnya ya Bu!", pinta saya.
Di sini menu ikan bakar murah sekali. Ukuran ikan emas setengah kilogram hanya Rp 45.000, sudah lengkap dengan nasi, sayuran, dan sambalnya.Â
Tapi saran saya, pastikan bertanya dulu sebelum memesan, karena di sini tidak disediakan menu dan penjelasan harga. Porsi yang saya pesan sebenarnya cukup untuk bertiga atau berempat.Â
"Boleh kok pesan setengah kilo aja," demikian penjelasan Ibu pemilik warungnya.

Jadi saya bebas mendownload gambar dan mengirimkan hasil editan video slide saya untuk kemudian dikultwitkan oleh Mas Bud, demikian dia biasa kami panggil di Inovator 4.0 Indonesia.
Malam sangat dingin di Waduk Cirata karena saya harus mandi pakai air sedingin es dan hembusan air dari sisi seberang waduk yang dikelilingi perbukitan membuat saya kesulitan tidur hingga pukul 12:00 malam.Â
Belum lagi keinginan untuk buang air kecil terus-menerus karena dinginnya. Sunggu merepotkan. Tapi melihat temaram lampu dari keramba jaring apung di tengah waduk membuat saya mensyukurinya. Belum pernah rasanya melihat rangkaian lampu sepanjang itu di waduk manapun!

Sampailah saya di ujung Jalan Cipendeuy yang buntu dan bertemu rangkaian keramba jaring apung yang lebih luas lagi, memenuhi cakrawala. Di sinilah sunrise terbaik yang bisa saya foto.Â
Sedikit kabut, danau berisi pantulan sinar matahari jingga diselingi keramba jaring apung, dan perahu hilir mudik dan burung yang terbang lalu lalang menciptakan pemandangan indah yang tak akan pernah terlupakan.

Beberapa warga tampak terlihat cemas, mungkin mereka pikir saya aparat yang sedang mendata bangunan yang akan digusur, hehe. Padahal saya cuma mengumpulkan data untuk diinput ke Google Map.

"Itu foto-foto buat apa Aa? Mau didata ya kita?" berkali-kali pertanyaan ini saya dapatkan dari para pemilik warung dengan raut muka khawatir.
Dan akhirnya, tibalah saat saya untuk pulang kembali ke Cianjur. Kali ini naik angkot biru muda, langung ke pusat kota tanpa berganti-ganti lagi. Ongkosnya tetap sama, Rp 7.000 rupiah. Lalu saya memutuskan menginap untuk menikmati sejuknya udara Cianjur lebih lama lagi.Â
Di sini saya menginap di Hotel Dayang Sumbi, di Jalan Karang Tengah, dekat Astra Daihatsu Cianjur. Di depannya ada nasi goreng yang enak sekali.Â
Meskipun rasanya manis-manis pedas, namun bukan karena kebanyakan kecap. Saya rasa memang ahlinya orang Sunda dalam menciptakan kuliner dengan selintas rasa manis di setiap masakannya.Â

"Oooh tadi saya jalan kaki dari terminal, lihat saja dari kejauhan harganya murah sekali Rp 78.000," Jawab saya. Namun saya tetap memilih kamar Rp 150 ribu karena ada fasilitas AC, air hangat, dan TV. Sudah pakai sarapan gratis dan kopi atau teh. Puas sekali menginap di sini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI