Mohon tunggu...
Hardius Usman
Hardius Usman Mohon Tunggu... Dosen - Humanitarian Values Seeker in Traveling

Doktor Manajemen Pemasaran dari FEUI. Dosen di Politeknik Statistika STIS. Menulis 17 buku referensi dan 3 novel, serta ratusan tulisan ilmiah populer di koran. Menulis hasil penelitian di jurnal nasional maupun internasional bereputasi. Mempunyai hobby travelling ke berbagai tempat di dunia untuk mencari nilai-nilai kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Wisata Horor di Phnom Penh

11 Juni 2020   12:34 Diperbarui: 11 Juni 2020   12:34 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memorial Stupa (Sumber: Koleksi Pribadi)

Melihat foto-foto para korban, mereka tidak mengesankan sebagai manusia yang bisa menjadi ancaman bagi penguasa. Memang demikianlah adanya sebab para korban sesungguhnya adalah orang-orang terdidik. Mereka dibantai hanya lantaran kecurigaan dan kebencian rezim yang berkuasa. Anti pendidikan, tentunya jalan pikiran rezim yang sangat aneh, bahkan seseorang bisa menjadi korban hanya lantaran berkacamata.

img20181116124725a-5ee1c252097f362d9a4515b2.jpg
img20181116124725a-5ee1c252097f362d9a4515b2.jpg

Tuol Sleng (Sumber: Koleksi Pribadi)

Sejak masuk ke lokasi, yang sebelumnya merupakan gedung sekolah ini, kita sudah dapat merasakan atmosfir yang berbeda. Kengerian yang mencekam seakan-akan menyeruak ke dalam diri. Rasa itu semakin menjadi ketika kita melihat apa yang ada di sana. Alat penyiksaan merupakan simbol rasa sakit yang sangat sebelum mati. Biasanya penyiksaan digunakan untuk memaksa tahanan memberikan informasi penting. Korban di sini bukanlah orang-orang politik atau pemegang rahasia. Jadi untuk apa ada alat penyiksaan? Belum lagi penjaranya, yang sel-selnya berukuran sangat kecil dengan rantai besi di dalamnya. Korban benar-benar diperlakukan seperti hewan. Rasanya, tidak cukup kata-kata untuk melukiskan kengerian dari kisah-kisah yang tercatat di sini.

Dalam kondisi yang masih diliputi perasaan 'horor', kami pun beranjak meninggalkan lokasi. Kami memang tidak mau berlama-lama di sana. Di pintu gerbang tampak supir tuk-tuk sudah tersenyum menyambut kami. Mungkin karena telah terbiasa mengunjungi gedung ini, tampaknya seakan-akan dia lupa pada apa yang pernah menimpa bangsanya. Sebuah peristiwa sepertinya tidak akan pernah terlupakan oleh manusia, tetapi manusia juga tidak mau untuk selalu hidup bersama peristiwa yang mengerikan.  

Manusia dilengkapi akal untuk menyejahterakan bumi, dan diberi hati untuk mengontrol kecerdasan otaknya agar selalu menggunakannya untuk kebaikan. Ketika akal manusia mampu mematikan cahaya nuraninya, maka padamlah matanya untuk melihat kebaikan. Manusia pun berubah menjadi monster yang sangat mengerikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun