Sejarah politik Indonesia kerap terasa seperti drama panggung yang tak pernah berganti naskah. Aktor boleh berbeda, tetapi alur cerita seolah sama: kemunculan tokoh independen dengan reputasi bersih, sambutan publik yang hangat, lalu diakhiri dengan tragedi hukum yang mengguncang. Kini, nama Nadiem Makarim berdiri di tengah sorotan, dan bayangan Tom Lembong pun tak bisa dihindari.
Pertama, keduanya lahir sebagai figur independen yang dibawa Presiden Jokowi ke dalam kabinet. Tom, ekonom berpengalaman dengan jejak global, tampil sebagai teknokrat murni yang jauh dari hiruk pikuk partai. Nadiem, pendiri Gojek, hadir sebagai ikon generasi baru yang berani mengubah wajah pendidikan. Mereka bukan bagian dari mesin politik lama, dan justru karena itulah mereka berdiri sendirian ketika badai besar datang menghantam.
Kedua, jalan hidup mereka nyaris paralel: sama-sama menempati kursi penting di pemerintahan, lalu menutup masa jabatan dengan reputasi profesional. Tom setelah menjadi Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM, kembali ke dunia finansial; Nadiem setelah mengabdi sebagai Mendikbudristek, kembali ke ranah usaha dan filantropi.Â
Namun anehnya, justru saat mereka sudah meninggalkan lingkaran kekuasaan, aparat hukum hadir membawa tuduhan besar: Tom dengan kasus impor gula, Nadiem dengan kasus Chromebook. Pola ini menimbulkan tanya: mengapa waktu selalu dipilih ketika mereka tak lagi punya posisi untuk bertahan?
Ketiga, kesamaan juga tampak dalam angka-angka fantastis yang digelontorkan. Tom dituduh merugikan negara lebih dari dua triliun rupiah, sementara Nadiem disebut hampir dua triliun. Narasi "triliunan" ini begitu nyaring di media, menciptakan efek kejut yang langsung menempel di benak publik.Â
Angka-angka itu menjadi senjata psikologis, mantra yang tak perlu lagi diuji akurasi di ruang publik. Pola lama kembali dimainkan: teriakkan kerugian besar, biarkan publik terseret dalam amarah, lalu sisakan detail teknis yang kabur di balik layar.
Keempat, cara penegakan hukumnya pun nyaris sama. Tom dijerat setelah bertahun-tahun meninggalkan jabatan, sementara mafia impor gula tetap aman berkeliaran. Nadiem dipanggil berkali-kali sebelum akhirnya ditetapkan tersangka, sedangkan banyak proyek besar lain yang beraroma busuk tidak pernah tersentuh.Â
Penegak hukum tampil tegas, tetapi hanya pada sasaran yang mudah: mereka yang tidak punya perisai partai, mereka yang berdiri sendiri. Lagi-lagi, yang independen menjadi korban paling empuk.
Kelima, publik akhirnya menyaksikan drama reputasi yang berbalik. Tom, yang dulunya dielu-elukan sebagai teknokrat bersih, kini dikenang dengan label korupsi.Â
Nadiem, yang sempat disanjung sebagai wajah segar inovasi, kini diposisikan sebagai simbol kegagalan. Dua figur independen yang pernah memberi warna baru pada pemerintahan, akhirnya ditarik ke panggung yang sama: panggung penghukuman.