Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ryu Kintaro, Netizen dan Peranan Orang Tuanya yang Harus Disorot

28 Juli 2025   14:03 Diperbarui: 28 Juli 2025   14:03 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ryu Kintaro dan Christ Sebastian Sang Ayah (Sumber: Suara)

Video pendek Ryu Kintaro mendadak viral. Bocah sembilan tahun itu direkam mengatakan, "Yang paling seru itu hidup sebagai perintis. Nggak ada yang nunjukin arah, nggak ada yang ngejamin hasil." Kalimat sederhana ini langsung memantik respons publik yang keras. Dalam hitungan jam, kolom komentar dipenuhi cemoohan: dari yang menyebutnya sok tahu, menertawakan privilege, sampai menjadikannya bahan olok-olok tanpa ampun.

Namun, reaksi publik ini justru mengekspos kelemahan mendasar dalam cara kita berpikir dan merespons fenomena viral. Banyak netizen terjebak pada kesalahan logika yang fatal saat menghadapi kasus ini.

Pertama, mereka melakukan serangan ad hominem yang tidak pada tempatnya. Alih-alih mengkritisi substansi atau konteks ucapan tersebut, kemarahan diarahkan langsung pada sosok bocah yang jelas belum memiliki kapasitas penuh memahami konsekuensi kata-katanya. Ini sama saja dengan menembak utusan karena tidak suka pesannya.

Kedua, publik membangun strawman fallacy dengan menciptakan bayangan palsu seolah-olah Ryu mengklaim telah merintis bisnis sendirian dari nol. Padahal yang ia ucapkan hanyalah deskripsi umum tentang "serunya jadi perintis". Bayangan palsu inilah yang kemudian dijadikan alasan untuk menghakimi habis-habisan. Kritik diarahkan pada sesuatu yang tidak pernah ia katakan.

Ketiga, terjadi false equivalence yang menyesatkan. Netizen membandingkan Ryu dengan perintis sejati yang harus bertaruh hidup mati membangun usaha dari ketiadaan. Perbandingan emosional ini memang menyentuh, tetapi tidak relevan. Ryu tidak pernah mengaku mengalami penderitaan seperti itu. Yang bermasalah justru narasi orang dewasa yang membungkus ceritanya sehingga tampak setara dengan perjuangan membangun dari nol.

Di balik semua kemarahan ini, ada kenyataan pahit yang jarang diakui: hidup sebagai perintis sejati memang sadis, bukan seru. Bagi kebanyakan orang, merintis berarti gagal berkali-kali, menjual aset terakhir, berutang hanya untuk bertahan hidup. 

Mereka tidak punya jaring pengaman finansial, tidak ada media yang memuja mereka, tidak ada jaringan bisnis keluarga untuk menopang ketika segalanya runtuh. Ketika seorang anak dari keluarga mampu bicara tentang "serunya merintis tanpa arah", publik merasa narasi itu menampar realitas keras yang mereka hadapi. Kemarahan pun meledak ke arah yang salah: ke mulut anak, bukan ke sumber narasinya.

Inilah yang harus diingat dengan jernih: Ryu adalah anak kecil. Secara hukum, ia sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab orang tuanya. Secara moral, ia belum memiliki kendali atas narasi publik yang menempel pada dirinya. Anak usia sembilan tahun tidak menulis naskah motivasi, tidak merancang panggung komunikasi, dan tidak memahami konsekuensi dari viralitas digital. Jika ada yang harus dipertanyakan, bukan Ryu, melainkan orang tua dan orang dewasa di belakangnya.

Dan di sinilah letak kesalahan paling fatal: orang tuanya yang menciptakan panggung ini. Mereka yang membiarkan narasi "anak perintis" beredar tanpa konteks yang memadai. Mereka yang tahu bahwa ucapan seperti ini akan mengundang perhatian sekaligus amarah, tetapi tetap melempar anak mereka ke sorotan publik. Mereka yang menikmati kebanggaan viralitas ketika pujian datang, tetapi berdiam diri ketika anak mereka dihujat habis-habisan.

Orang tua seperti ini tidak hanya gagal melindungi anaknya, tetapi juga gagal membaca realitas sosial dengan akurat. Mereka seolah-olah percaya bahwa publik akan memeluk cerita ini begitu saja, tanpa menyadari bahwa dunia maya jauh lebih ganas dari sekadar tepuk tangan di seminar motivasi. 

Ketika kritik datang, anak mereka yang dijadikan tameng. Ketika pujian datang, mereka yang paling dulu tampil di depan kamera. Atau jangan-jangan yang lebih sadis lagi, anaknya sengaja dijadikan clickbait. Semoga saja tidak demikian.

Maka, jika kita mau bicara tentang siapa yang layak disorot, jawabannya terang benderang: bukan Ryu, melainkan orang tuanya. Mereka yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas keputusan ini. 

Mereka yang harus dikritisi karena membiarkan anak kecil mereka menjadi simbol palsu "perintis" sambil memetik keuntungan dari sorotan publik. Dan jika publik masih sibuk menghina anaknya alih-alih menghantam pembuat narasi di belakangnya, itu hanya membuktikan satu hal: kita semua, netizen dan orang tua, sama-sama gagal belajar menjadi dewasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun