Di tengah malam politik Indonesia yang letih dan penuh kepura-puraan, ketika suara rakyat tenggelam di balik gemerlap narasi elite, tiba-tiba bumi Pasundan, tempat dimana Tuhan tersenyum ketika membuatnya, sedang bergetar pelan. Bukan karena demo, bukan karena buzzer, tapi karena seekor gajah mistis yang perlahan bangkit dari tidur panjangnya, dan di atas kepalanya berdiri seorang pawang: Ronald A. Sinaga, atau yang lebih dikenal sebagai BroRon.
BroRon tak datang dengan gegap gempita, tak membawa rombongan penyambut dengan bunga plastik dan kamera wartawan. Ia datang seperti angin hutan yang tua, diam, dalam, dan membawa perubahan.
Kini hasil e-voting sementara pemilihan Ketua Umum PSI menunjukkan BroRon unggul jauh, terutama di Jawa Barat, tanah yang dulu bukan basis PSI. Rasanya, BroRon bukan menang karena mesin partai, karena beberapa kader PSI seperti William Aditya Sarana, dengan terang-terangan dukung Kaesang, dengan alasan yang saya nggak tahu, dan nggak mau tahu juga.
Di Jawa Barat, BroRon menang karena ia membangunkan gajah dengan getaran yang lahir dari penderitaan rakyat. BroRon harus naik ke kepala gajah PSI bukan karena posisi, tapi karena perjuangan yang ia kerjakan selama ini.
Ia turun tangan ketika dana PIP (Program Indonesia Pintar) yang seharusnya menjadi hak anak-anak miskin dimaling oleh oknum sekolah. Uang yang ditunggu-tunggu para orang tua raib begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa keadilan. Dan BroRon tidak diam.
Ia gali data, dampingi keluarga, viralkan suara mereka, hingga terbuka tabir kelicikan yang menyaru sebagai administrasi. Dana perlahan kembali, dan yang tidak kembali, diproses lewat hukum maupun sanksi sosial. Digas di media sosialnya. Rangkap kameramen.
Di saat yang sama, BroRon dan tim advokatnya menyambut jeritan sunyi dari korban-korban proyek gagal BUMN Karya. Tukang, vendor kecil, hingga pemilik warung, semua terjerat utang karena proyek besar yang mangkrak, tak dibayar, tak diselesaikan.
Negara membisu. Media tak meliput. Orang PSI juga nggak banyak ikutan. Tapi BroRon hadir, menyuarakan mereka yang tak terdengar. Bukan dengan panggung, tapi dengan pijakan kaki di tanah yang sama dengan rakyat.
Dan ketika proyek SUTT 150 kV PLN di Setia Mulya, Tarumajaya dipaksakan berdiri di atas rumah-rumah warga tanpa musyawarah sejati, BroRon kembali berdiri di barisan depan. Ia tidak bicara soal jaringan listrik, tapi soal tanah yang diwariskan dari leluhur. Ia tidak memusuhi pembangunan, tapi melawan pembangunan yang tidak sesuai dengan kesepakatan bersama yang dilandasi aspek hukum.
BroRon tahu, tiang sutet bukan hanya beton, tapi simbol kuasa yang acap lupa pada rasa. Dan rasa itulah yang ia bela: ketakutan anak-anak yang tinggal di bawah kabel tegangan tinggi, keresahan ibu-ibu yang tak bisa lagi menjemur pakaian dengan tenang, trauma warga yang lahannya diukur sepihak dan akan digusur dengan dalih kemajuan.