Garuda menang 1-0 atas Naga. Satu gol penalti. Tidak ada dominasi. Tidak ada skema taktik yang memukau. Namun hadiah yang menanti begitu mewah---jam tangan Rolex dari pemimpin tertinggi negara Garuda. Sebuah piala kehormatan yang terasa janggal, seolah-olah satu penalti adalah tiket menuju kebesaran sepak bola Garuda.
Di saat yang sama, atlet-atlet cabang lain terus berjuang dalam kesunyian. Para pemanjat tebing yang meraih emas di ajang dunia, lifter angkat besi yang konsisten di Asian Games, pemain bulu tangkis yang meski tengah regenerasi masih mampu bersaing global, bahkan atlet e-sports yang mengharumkan nama bangsa---mereka pulang dengan peluh dan senyuman sederhana.
Tanpa jam mewah. Tanpa pesta pujian berlebihan. Hanya tepuk tangan sejenak, lalu dilupakan oleh negara yang terlalu terpesona dengan glamor sepak bola. Atlet wushu pun juga bicara hal yang sama. Ada kesenjangan. Ya betul. Para pejabat di balik itu, hanya ingin mengejar popularitas.
Kemenangan tipis atas Naga dibesar-besarkan seolah langkah revolusioner menuju Piala Dunia. Padahal itu hanyalah kemenangan beruntung lewat titik putih atas tim yang juga sedang membangun ulang.
Tidak ada yang luar biasa, apalagi monumental. Namun euforia meledak. Media bergemuruh. Publik terbius ilusi bahwa Garuda sudah selangkah lebih dekat dengan mimpi besar.
Lima hari kemudian, realitas menohok telak. Garuda dipermalukan Samurai Biru 0-6. Kekalahan historis yang mempertontonkan jurang kualitas yang masih menganga lebar. Ironisnya, sebagian pemain yang kemarin berpose dengan Rolex di pergelangan tangan, kini harus menunduk malu di hadapan kecepatan, presisi, dan kedisiplinan taktik negara pembuat Seiko, Casio, G-Shock, Orient dan lain-lain yang tidak butuh gemerlap untuk menunjukkan kelas sejati.
Pemberian Rolex bukan sekadar hadiah---itu adalah sinyal berbahaya. Bahwa sepak bola Garuda diperlakukan istimewa bahkan ketika belum pantas. Di era Shin Tae-yong, semua berjalan dengan kesederhanaan yang produktif.
Tidak ada janji hadiah mewah, namun hasilnya jauh lebih substansial: lolos Piala Asia, tembus 16 besar, membangun pondasi skuad muda dengan visi jangka panjang.
Begitu Shin pergi dan Patrick Kluivert masuk, sirkus dimulai. Naturalisasi massal tanpa konsep matang. Glorifikasi kemenangan semu. Puncaknya adalah jam tangan mewah untuk sebuah penalti---simbol betapa mudahnya kita terbang tinggi dengan pencapaian yang sebenarnya biasa-biasa saja.
Bayangkan jika perhatian dan anggaran sebesar itu dialokasikan untuk cabang olahraga lain. Untuk atlet muda panjat tebing yang konsisten mengharumkan Garuda di panggung dunia.