Di tengah hiruk-pikuk metropolitan yang tak pernah tidur, di antara kemacetan yang mencekik dan polusi yang memabukkan, terdengar sebuah tangisan pilu yang selama ini teredam oleh deru mesin dan klakson yang memekakkan telinga. Bukan sekadar keluhan biasa, melainkan jeritan eksistensial para pengemudi ojek online yang bertahun-tahun terperangkap dalam labirin sistem kapitalisme digital yang kejam dan tak berperikemanusiaan.
Mereka yang selama ini kita andalkan seperti malaikat penyelamat di tengah kemacetan, yang mengantarkan makanan hangat saat hujan deras, yang membawa anak-anak sekolah dengan penuh tanggung jawab, yang mengirimkan paket-paket penting dengan dedikasi tinggi---ternyata diam-diam dicekik hak hidup dan penghasilannya oleh potongan-potongan brutal tanpa dasar hukum yang legitimate. Ini bukan sekadar eksploitasi ekonomi biasa, melainkan pembantaian sistematis terhadap dignity kemanusiaan yang paling fundamental.
Potongan 20%, 30%, bahkan hingga 50% dari nilai order bukan sekadar deretan angka yang cold dan heartless---itu adalah perampasan atas keringat, darah, dan air mata mereka yang mengalir di tengah terik matahari dan hujan badai. Belum cukup sampai di sana, muncul pula biaya aplikasi dan biaya layanan dari konsumen yang dipungut bagai vampir modern yang menghisap darah korbannya tanpa ampun---beban ganda yang bahkan tidak memiliki legitimasi hukum sama sekali, totally groundless and morally bankrupt.
Memang benar, berbisnis adalah soal mencari keuntungan, tapi ketika profit itu melampaui batas kepatutan dan kemanusiaan, ketika keserakahan dipungut dari kelompok rentan seperti driver ojol yang sudah susah payah mencari nafkah, maka saatnya negara hadir dengan tangan besi dan hati yang berkobar-kobar untuk keadilan.
Dan hadirnya negara yang dinanti-nantikan itu, kali ini, berbicara melalui suara lantang dan jernih bagai guntur di siang bolong dari seorang Adian Napitupulu---sosok yang tak cuma jadi ornamen politik, tapi genuine fighter yang benar-benar turun ke arena pertempuran. Di Gedung DPR yang megah dan sering kali steril dari penderitaan rakyat, Adian tidak hanya duduk manis seperti patung museum yang tak bernyawa.
Dia berdiri tegak, bersuara lantang, berteriak nyaring, membawa keresahan jutaan driver ke ruang yang semestinya menjadi tempat representasi rakyat yang sesungguhnya. Tidak dengan retorika politik yang hambar dan kosong melompong, tidak dengan janji-janji manis yang menipu, tetapi dengan data yang gamblang dan telanjang, dengan perhitungan ekonomi yang masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan, dan yang paling penting dan mendasar: dengan nurani yang berkobar-kobar dan empati yang mendalam terhadap penderitaan sesama.
Adian menjelaskan dengan detail yang mencengangkan bagaimana pengemudi ojol bisa kehilangan lebih dari setengah penghasilannya---bahkan sampai 70%---hanya karena struktur biaya yang tidak adil, yang dirancang secara sistematis untuk merampok dan merampas hak hidup mereka. Dia mempersoalkan dengan keras pungutan-pungutan yang bahkan tidak berdiri di atas dasar hukum apa pun, yang dipungut secara sepihak tanpa konsultasi dan persetujuan yang fair.
Dengan tegas dan penuh conviction, dia berkata dengan suara yang menggelegar: "Apakah kita sebagai DPR mau membiarkan adanya pungutan-pungutan dari masyarakat yang tidak punya dasar hukum? Tidak, big NO!" Ini bukan cuma statement politik biasa, ini adalah deklarasi perang terhadap ketidakadilan yang sudah terlalu lama dibiarkan mengakar dan membusuk.
Dan Adian tidak berhenti di titik kritik yang destruktif saja---oh tidak, dia jauh lebih brilliant dari itu. Dia membongkar habis-habisan sistem algoritma yang digunakan aplikator dengan analisis yang tajam bagai pisau bedah: sistem yang bisa menentukan siapa yang mendapat order dan siapa yang tidak, dengan imbalan uang tambahan hingga puluhan ribu rupiah yang harus dibayar driver untuk mendapat prioritas.Â
This is totally insane! Ini bukan lagi platform berbasis kerja yang fair dan demokratis, tapi sebuah sistem pay-to-play yang corrupt sampai ke akar-akarnya---di mana mitra yang tidak membayar tribute, tidak mendapat penghasilan yang layak. Dalam sistem seperti ini yang brutal dan dehumanizing, kebebasan kerja berubah menjadi ketergantungan yang menyakitkan. Kemitraan yang seharusnya mutual dan respectful berubah menjadi subordinasi yang memalukan dan merendahkan martabat manusia.