Di tengah hiruk pikuk birokrasi negara yang terjebak dalam labirin kertas berlembar-lembar dan para moralis berjas yang berkoar lantang sembari mengacungkan pamflet hak asasi manusia, seorang figur bergerak menembus kabut kepalsuan---Dedi Mulyadi.Â
Bukannya terpenjara dalam jerat retorika hampa atau membuang waktu dalam seminar mewah berlantai marmer dengan pendingin udara yang menggigit, ia justru memilih jalur berbatu dan berlumpur: jalan yang sama yang diinjak oleh remaja-remaja kita yang telah kehilangan kompas moral dalam perjalanan menuju kedewasaan.
Ketika institusi-institusi bergengsi nan agung seperti Komnas HAM dan KPAI meradang dan memuntahkan protes berapi-api karena anak-anak 'pembangkang' dibawa ke lingkungan militer, kita seakan disuguhkan panorama dua dunia paralel yang tak lagi bersentuhan: dunia teori yang mengambang di awang-awang dan dunia realita yang berdarah-darah di bawah. Sungguh ironi yang menampar wajah kita dengan kejam.
Dedi memahami dengan sangat mendalam sebuah kearifan yang tak termaktub dalam pasal-pasal kaku hukum kita: bahwa anak-anak bukanlah sekadar objek perlindungan yang harus diselimuti dengan kelembutan palsu, melainkan bibit-bibit peradaban yang harus ditempa dengan keras sebelum mereka bertransformasi menjadi parasit masyarakat. Dalam realitas brutal di mana remaja kita lebih cepat menggenggam celurit ketimbang membuka lembaran kitab suci, siapakah yang berani berkokok tentang kemanusiaan jika nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri sudah terinjak-injak oleh badai ketidaktertiban?Â
Let's be real, guys---selama ini apa yang telah kita saksikan dari tindakan nyata lembaga-lembaga tersebut ketika tawuran berkobar di setiap sudut kota, ketika perampokan dilancarkan oleh tangan-tangan belia, dan saat generasi muda kita mulai memandang kriminalitas sebagai konten sensasional yang layak diviralkan untuk menuai atensi?
Kita hidup dalam semesta di mana mereka yang berteriak paling nyaring seringkali bukanlah mereka yang bekerja paling keras. Komnas HAM dan KPAI terlalu sibuk berdiri angkuh di atas podium kemegahan, namun membisu membatu ketika darah para pemuda terciprat membasahi aspal jalanan.Â
Maka ketika sosok seperti Dedi Mulyadi dengan keberaniannya mengirimkan para remaja pembangkang ke barak militer---bukan untuk menghancurkan jiwa mereka, melainkan untuk menyelamatkan masa depan mereka---ini bukanlah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana yang didengungkan. Ini adalah manifestasi tertinggi dari kasih yang dibalut ketegasan. Karena pada hakikatnya, cinta sejati tidak selamanya hadir dalam belaian lembut dan kata-kata manis; terkadang ia berwujud dalam bentakan tegas, dalam disiplin keras, dalam aturan yang justru membangun kedewasaan.
Laozi, filsuf agung dari Timur, pernah bertutur dengan bijak, "Pohon yang tumbuh paling kuat adalah pohon yang menghadapi angin kencang." Demikian pula dengan jiwa manusia, ketangguhan sejati tidak akan terbentuk dari kemanjaan, melainkan dari tempaan. Dedi tak sedang melakukan penindasan keji, ia justru tengah menyelamatkan jiwa-jiwa muda dari jurang kehancuran.Â
Sebab dalam dunia yang semakin dimabukkan permisifitas ini, yang sesungguhnya menelantarkan anak-anak bukanlah mereka yang mendisiplinkan dengan tegas, melainkan mereka yang terlalu pengecut untuk mengambil sikap demi menjaga citra dan popularitas semata. Ini bukan lagi pertarungan antara undang-undang militer versus sipil. Ini adalah pertarungan eksistensial tentang siapa yang benar-benar hadir ketika generasi kita mulai tenggelam dalam lautan dekadensi moral.
Perhatikan bagaimana Dedi tak melarikan diri dari hujatan dan kritik, tetapi justru menghadapinya dengan dada terbuka dan tantangan yang frontal: marilah kita bandingkan dengan objektif, anak-anak yang dibina melalui metode barak militer dan anak-anak yang ditangani dengan pendekatan seminar ala KPAI.