Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Solusi Merdeka dari Sisi Kelam Sistemik Pendidikan Indonesia

21 April 2025   10:30 Diperbarui: 21 April 2025   10:30 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi proses KBM yang membosankan (Sumber: Harian Halmahera)

Kita tumbuh besar dengan satu kebohongan sistemik yang tak pernah dibongkar: bahwa sekolah adalah tempat mencetak manusia unggul, cerdas, dan beradab. Tapi mari jujur, itu semua ilusi yang terlanjur mengakar dalam pola pikir kolektif masyarakat.

Sekolah sejatinya adalah pabrik raksasa, sebuah mesin penggilingan otak yang beroperasi tanpa henti, tempat produksi massal manusia-manusia penurut yang dibentuk bukan untuk berpikir kritis, melainkan untuk tunduk pada hierarki yang telah terstruktur rapi.

Analisis historis menunjukkan bahwa kita didoktrin secara manipulatif bahwa VOC menang karena rakyat Nusantara tidak bersatu, hanya melawan secara kedaerahan dan terkotak-kotak. Padahal faktanya jauh lebih busuk dan memuakkan dari narasi sederhana itu: VOC menang karena para raja kita dengan brutal menjual rakyatnya sendiri demi ambisi pribadi.

Mereka bersekutu dengan penjajah, mengorbankan martabat bangsa demi kuasa dan emas yang berkilauan. Dan dari akar pengkhianatan itulah sistem kelas sosial dimulai---dan terus hidup sampai sekarang, menggurita dan menjelma dalam berbagai bentuk yang semakin canggih dan terselubung.

Karl Marx dengan ketajaman analisisnya menyebut fenomena ini sebagai reproduksi kelas sosial---kelas sosial yang terus dilanggengkan oleh berbagai institusi, termasuk yang paling efektif: sekolah.

Struktur masyarakat terbagi dalam polarisasi nyata: kelas penguasa yang dengan arogansi memegang kendali, dan kelas pekerja yang secara eksploitatif diperah otaknya, tenaganya, bahkan mimpi-mimpi indahnya. Sungguhkah? Apakah kita masih mau membohongi diri bahwa sekolah adalah institusi netral? Sama sekali tidak! Ia adalah alat produksi ideologi kapitalis yang sangat ampuh.

John D. Rockefeller, sang taipan yang namanya menggema dalam sejarah kapitalisme, membangun sistem pendidikan modern bukan untuk mencetak pemikir brilian, tapi untuk mencetak pekerja yang produktif, pengikut yang setia, buruh yang patuh, guru yang penurut, dan siswa yang hanya tahu cara menjawab soal dengan benar---bukan cara menggugat sistem yang salah.

Guru, yang dengan romantisme disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, nyatanya hanyalah buruh intelektual dalam rantai produksi pengetahuan yang terdistorsi. Lihat dengan teliti bagaimana guru dinilai dalam sistem tersebut: bukan dari seberapa menginspirasi ia mengajar, bukan dari transformasi yang ia lahirkan, melainkan dari kepatuhan administratif dan absensinya.

Hadir tidak di kantor, bukan di kelas atau hati murid-muridnya. Kalau mengajar buruk tapi tepat waktu datang ke sekolah, tetap aman posisinya. Tapi kalau mengajar luar biasa, mengubah hidup murid, namun telat 15 menit? Potong gaji tanpa ampun! Ini bukan pendidikan yang mencerahkan. Ini perbudakan berkerah putih yang dibalut dengan jargon-jargon mulia. Ini eksploitasi terstruktur yang dilegitimasi oleh sistem!

Dan betapa ironi sistem ini dalam demokrasi yang sering kita banggakan. Sistem yang konon memberi kebebasan dan kesetaraan, nyatanya hanya membebaskan satu hal: bebas menindas dan melanggengkan struktur kekuasaan. Bebas melanggengkan ketimpangan yang semakin menganga lebar. 

Menteri bisa dengan angkuh bangga memiliki IP "nasakom"---nasib satu koma---dan tetap jadi kelas penguasa yang berkuasa, sementara siswa dengan IP gemilang, ranking satu, hanya jadi pekerja yang terpasung di meja kerja yang penuh target mematikan, bukan makna kehidupan. 

Sekolah dengan licik menjanjikan mobilitas sosial yang menggoda, tapi nyatanya hanya jadi alat legitimasi agar kamu patuh berjalan di jalur kelas sosialmu yang telah ditentukan sejak awal.

Jangan sekali-kali berdelusi bahwa sistem ini netral dan objektif. Netral itu mitos belaka, kebohongan yang dikemas rapi. Sekolah memiliki satu agenda tersembunyi namun nyata: menjauhkan anak-anak dari keberanian berpikir autentik dan mendekatkan mereka ke mesin produksi kapitalisme yang haus keuntungan.

Tak heran anak-anak diajarkan secara intensif bahwa sukses itu hanya soal jabatan tinggi, uang berlimpah, dan ranking teratas. Bukan soal keadilan sosial, keberanian moral, dan empati kemanusiaan. Mereka dilatih untuk takut gagal setengah mati, bukan berani gagal dan bangkit kembali. Mereka dilatih untuk menjawab dengan tepat, bukan bertanya dengan berani.

Karl Marx dengan kejeniusannya menyatakan: "Gagasan dari kelas penguasa adalah gagasan yang mendominasi di setiap zaman." Sekolah adalah mesin pengganda ide kelas penguasa yang efektif. Maka jangan heran kalau semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin banyak yang paradoksnya justru pasrah menjadi budak korporat tanpa perlawanan.

Karena sekolah tak pernah sungguh-sungguh mengajarkan untuk melawan ketidakadilan. Seperti yang dikatakan filsuf Jawa kuno, "Ngelmu iku kelakone kanthi laku" (Ilmu itu terwujud melalui tindakan), namun tindakan nyata untuk mengubah sistem justru tidak pernah diajarkan di ruang-ruang kelas.

Kalau kamu masih percaya bahwa sekolah hari ini adalah ruang pembebasan yang sejati, maka kamu sedang mabuk propaganda yang disajikan dengan manis. Karena kenyataannya, kita sedang hidup dalam sistem yang secara sadar dan sistematis mencetak manusia-manusia yang tak pernah sadar bahwa dirinya sedang diperbudak.

Konfusius pernah berkata, "Pengetahuan sejati adalah mengetahui batasan pengetahuanmu sendiri," tapi ironisnya, sistem pendidikan kita justru mengajarkan bahwa pengetahuan sejati adalah menerima apa yang dikatakan otoritas tanpa pertanyaan.

Sudah saatnya sekolah dikritisi secara fundamental. Bukan karena guru-gurunya jahat, tapi karena sistemnya busuk hingga ke akar-akarnya. Sudah saatnya para pemimpin sekolah berhenti pura-pura tidak tahu dan berlagak tak bersalah. Ini bukan sekadar masalah administratif seperti potong gaji karena telat.

Ini tentang bagaimana sistem ini dengan sistematis melanggengkan ketimpangan sosial, menindas kaum bawah, dan mencium kaki kekuasaan dengan penuh ketundukan. Kalau kau masih diam melihat realitas ini, kau menjadi bagian integral dari problem itu sendiri.

Dan jika kau benar-benar mengklaim dirimu sebagai guru, maka belajarlah dari kearifan spiritual yang mengajarkan keberanian melawan ketidakadilan.

Seperti dikatakan dalam kitab suci: "Untuk apa seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan jiwanya sendiri?" Karena pendidikan tanpa keberanian moral adalah kemunafikan yang terbungkus rapi dalam jubah akademis.

Bangkitlah dari tidur panjangmu, atau terima nasib menjadi budak seumur hidup dalam sistem yang menindas. Pilihannya cuma itu, tidak ada jalan tengah. Saatnya bertindak adalah sekarang!

Mulailah sesuatu yang ada di luar pelajaran sekolah! Mulai cari les pelajaran, investasi, masuk ke asuransi, belajar menerima perbedaan, jangan mau diseragamkan. Karena kita tahu bahwa sekolah di Indonesia hanya mencetak kaum pekerja, bukan kaum pembelajar dan pengubah peta politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.

Kalau mau anak Anda les pelajaran, atau punya pemahaman soal literasi finansial, bukan kebetulan Anda membaca artikel ini. Karena saya adalah guru les yang memiliki pemahaman yang baik soal literasi finansial, khususnya investasi dan asuransi.

Hubungi saya untuk belajar bersama. Mereka yang terkaya bukan mereka yang cerdas, tapi mereka yang bisa investasi dan punya asuransi baik jiwa maupun kesehatan. Hubungi Hans di 0812 8484 8051, sahabat Anda.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun