Panorama Jakarta menjelang lebaran menghadirkan kontradiksi yang memikat namun mematikan. Jalanan protokol hingga arteri tol yang biasanya sesak kini tampak lengang bak kanvas kosong menunggu goresan.Â
Fenomena urban retreat ini terjadi kala sekitar 3 juta kendaraan melakukan eksodus tahunan, meninggalkan ibukota dalam kondisi yang paradoksikal---melegakan sekaligus mengerikan bagi mereka yang masih bertahan di aspal metropolitan.
Tragedi terbaru menjadi bukti nyata betapa fatal konsekuensi dari jalanan lowong ini. Baru kemarin, sebuah Hyundai Ioniq berkecepatan tinggi menghantam sebuah truk yang sedang dalam perbaikan di bahu jalan tol lingkar luar rute Pantai Indah Kapuk menuju Cengkareng Puri. Heartbreaking moment terjadi ketika seorang mekanik yang tengah berjibaku memperbaiki kendaraan harus kehilangan nyawa akibat tabrak lari yang diduga hasil dari street racing ilegal.Â
Kejadian ini menjadi red flag yang tak bisa diabaikan---bukti konkret dari bahaya laten Jakarta saat liburan yang seolah menjadi invitation bagi pengemudi untuk mengubah jalanan publik menjadi sirkuit balapan pribadi, terutama bagi pemilik kendaraan elektrik berperforma tinggi.
Perlu kita pahami bersama, mobil listrik memiliki karakteristik akselerasi yang instant dan brutal.Â
Tidak seperti kendaraan konvensional berbahan bakar fosil yang memerlukan transisi waktu antara injakan pedal gas dengan respon mesin, kendaraan elektrik memiliki koneksi langsung antara throttle input dengan torsi roda---menciptakan power delivery yang explosif dan potentially lethal bila disalahgunakan.Â
Mobil listrik bagaikan naga yang jinak namun mematikan bila pengendaranya tak bijak.
Ironi yang menyayat hati adalah ketika kita menyaksikan generasi muda---some of them masih underage dan belum memiliki lisensi mengemudi---dengan mudahnya mendapatkan akses ke kendaraan high-performance dari orang tua mereka dan memanfaatkan jalanan kosong sebagai playground berbahaya.Â
No cap, ini adalah recipe for disaster yang berujung pada hilangnya nyawa-nyawa berharga, khususnya para pekerja keras yang menjadi tulang punggung keluarga. Sebagaimana yang dikatakan dalam kebijaksanaan Jawa kuno, "Aja dumeh"---jangan merasa superior dan semena-mena hanya karena memiliki kekuatan atau keistimewaan.
Tragedi ini mencatat dua korban jiwa: pengendara Ioniq yang meninggal di lokasi---yang secara teknis adalah pelaku, bukan korban---dan seorang mekanik yang tengah melakukan kewajibannya memperbaiki kendaraan di bahu jalan.Â
Strong suspicion mengarah pada dugaan bahwa Hyundai tersebut sedang adu kecepatan dengan BMW M3 sebelum kecelakaan fatal itu terjadi. "Kehidupan manusia seperti kabut pagi yang sejenak tampak lalu lenyap"---pengingat spiritual yang menyadarkan kita akan kefanaan hidup dan pentingnya menghargai setiap momen dengan bertindak penuh tanggung jawab.
Harapannya, tragedi ini menjadi pembelajaran kolektif yang mahal namun berharga. Kita tidak bisa mengabaikan kasus-kasus serupa di masa lalu, seperti insiden putra seorang selebritis yang menabrak dan menewaskan kepala keluarga---namun karena status di bawah umur, proses hukum tidak berjalan semestinya dan diselesaikan melalui pendekatan "kekeluargaan".Â
Ini mengingatkan kita pada filosofi Confucius: "Ketika keadilan tidak ditegakkan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem yang seharusnya melin
dungi mereka."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI