Bahwa kasus penutupan Jalan Jatibaru ini melanggar UU, makin tampak ketika Ombudsman mengingatkan Anies untuk membuka kembali ruas jalan itu dan mengembalikan fungsinya sebagai jalan raya, bukan tempat berjualan. Bahkan pihak kepolisian pun dari awal sudah tegas mengatakan bahwa fungsi jalan tidak bisa diganggu gugat. "Jalan digunakan untuk jalan, trotoar untuk pejalan kaki. Itu sudah tidak bisa diganggu gugat," kata Kombes Polisi Yusuf, Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya belum lama ini (Koran Tempo, Senin 4 Juni 2018).
Dan sebenarnya masih banyak pekerjaan di DKI yang mesti dituntaskan untuk menuju Jakarta sebagai kota modern, manusiawi, dan bermartabat. Salah satunya adalah lokasi-lokasi kumuh yang dijadikan tempat tinggal oleh warga. Banyak gubuk-gubuk di pinggir kali, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, yang kondisinya tidak higienis dan tidak manusiawi.
Tugas gubernur dan jajarannya antara lain adalah mengembalikan fungsi lahan-lahan tersebut sesuai peruntukannya. Dan itu bukan pekerjaan mudah, dibutuhkan keberanian dan ketegasan. Welas asih tidak ada tempatnya bagi pelanggar hukum. Menyediakan alternatif hunian sebelum menggusur, adalah wujud welas asih yang sejati, bukan membiarkan orang berada terus dalam kekumuhan, dan melanggar hukum.
Kasus-kasus di atas mestinya membuat semua pihak sadar perlunya semacam Garis-garis Besar Haluan Gubernur (GBHG), sehingga kepala daerah tidak seolah dilepas begitu saja, yang berpotensi melakukan segala sesuatu secara serampangan. Selain tidak fokus, kebijakannya juga banyak yang menabrak hukum.
Seorang gubernur kota besar, selain membenahi lalu-lintas supaya tidak macet, dan tidak banjir, harus diwajibkan secara bertahap membebaskan lokasi-lokasi dari kekumuhan. Dari GBHG inilah nanti bisa dinilai sejauh mana seorang kepala daerah berhasil menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya.