disarikan oleh: Abdul Kadir Mualo
Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, kedaulatan pangan menjadi isu yang tak bisa diabaikan, terutama di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti Maluku. Namun, realitas yang dihadapi masyarakat adat di wilayah ini menunjukkan bahwa hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam sering kali terabaikan. Hutan adat, yang seharusnya menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat lokal, sering kali diklaim sebagai hutan negara, mengakibatkan hilangnya hak kepemilikan masyarakat atas tanah yang mereka kelola secara turun-temurun.
Dalam konteks ini, Undang-Undang Desa mengategorikan hutan menjadi hutan negara dan hutan adat. Namun, pengaturan ini sering kali tidak diimbangi dengan perlindungan yang memadai bagi masyarakat adat. Penambangan yang dilakukan tanpa izin dari masyarakat adat, tetapi mendapatkan izin administratif dari pemerintah, menciptakan ketidakadilan yang mendalam. Sebelum penambang memperoleh izin, mereka seharusnya menjalin hubungan hukum yang jelas dengan masyarakat adat. Tanpa adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, keberlanjutan sumber daya alam yang mereka kelola akan terancam.
Berkaitan dengan pengelolaan dan pengakuan hak-hak adat , relevan dengan kedaulatan pangan lokal. apalagi tanah adat adalah sentral tumbuhnya tanaman pangan lokal. Mengenai pangan lokal di Maluku pasti di kaitkan dengan sagu. Namun sampai saat ni pemerintah masih baru mengeluarkan satu regulasi mengenai sagu. Yaitu Peraturan daerah No 10 tahun 2011 tentang sagu. Ini menunjukan kurangnya perhatian pemerintah terhadap sagu sebagai ikon pangan Maluku. Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2011 yang mengatur tentang sagu sebagai makanan khas di Timur Indonesia, artinya, aturannya bersifat Umum. belum ada peraturan yang secara khusus mengatur pengembangan sagu sebagai ikon makanan masyarakat Maluku. lokal.Kedaulatan pangan di Maluku juga menghadapi tantangan serius.Â
Ketersediaan pangan lokal semakin langka, sementara pangan strategis yang didorong oleh pemerintah, sejak era Orde Baru, mendominasi pasar. Kedaulatan pangan tidak hanya bergantung pada ketersediaan pangan strategis, tetapi juga pada pengembangan dan keberlanjutan pangan lokal.Â
Inovasi dalam pengelolaan hasil pangan lokal, seperti sagu dan obi kayu, masih sangat terbatas. Masyarakat adat di Maluku belum seragam dalam pengembangan pangan, dan banyak peraturan desa yang belum mendapatkan perhatian dalam hal budidaya pangan lokal. Sagu, yang seharusnya menjadi makanan khas, masih tumbuh liar dan belum dikelola secara optimal. Di sisi lain, masyarakat lebih memilih untuk mengonsumsi makanan yang tidak berasal dari sumber lokal, yang menunjukkan adanya perubahan mentalitas dalam pola konsumsi.
Ketersediaan pangan lokal juga dipengaruhi oleh kondisi iklim dan infrastruktur yang ada. Musim yang tidak menentu menyebabkan masyarakat bergantung pada cuaca untuk bercocok tanam. Ketika musim ombak datang, masyarakat tidak dapat melaut, dan saat musim hujan, mereka tidak dapat bertani. Hal ini menciptakan masalah dalam ketersediaan pangan yang berkelanjutan. Selain itu, perluasan pemukiman penduduk juga mempengaruhi luas area tanaman sagu, yang semakin memperparah kondisi ketersediaan pangan lokal.
Salah satu tantangan utama dalam pengembangan pangan lokal adalah kurangnya regulasi dan harmonisasi antara peraturan desa dan peraturan daerah yang mengatur tanaman pangan lokal. Tanpa adanya regulasi yang jelas, masyarakat tidak memiliki panduan yang memadai untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya pangan lokal mereka. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menciptakan regulasi yang mendukung pengembangan pangan lokal dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mengembangkan regulasi yang mendukung pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya pangan lokal harus ditingkatkan, dan inovasi dalam pengelolaannya perlu didorong. Dengan demikian, diharapkan masyarakat adat dapat kembali memiliki hak atas tanah dan sumber daya yang mereka kelola, serta meningkatkan ketersediaan pangan lokal yang berkualitas.
Kedaulatan pangan bukan hanya tentang ketersediaan pangan, tetapi juga tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Memulihkan kedaulatan pangan di Maluku memerlukan komitmen bersama untuk menghargai dan melindungi hutan adat serta sumber daya alam yang menjadi bagian dari identitas dan kehidupan masyarakat lokal. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa generasi mendatang akan memiliki akses yang adil dan berkelanjutan terhadap pangan yang berkualitas.
Tulisan di atas, di sarikan berdasarkan Webinar ISNU Maluku 20 Mei 2025 tentanh: "Kebangkitan Nasional: mengokohkan Pangan Lokal, Infrastruktur dan energi terbaharukan menuju Indonesia emas 2045."