Mohon tunggu...
HPS
HPS Mohon Tunggu... - -

Newbie on writing. 外国語で皮肉が大好きです。

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revolusi Mental, "Public Officer vs Public Servant"

2 Mei 2018   16:35 Diperbarui: 3 Mei 2018   13:01 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Contoh sederhananya, mungkin jika Putri Roro Jonggrang hidup di masa kini akan banyak aktivis HAM pembelanya yang mencecar dan mungkin menurunkan Pangeran Bandung Bondowoso dari tahtanya karena memaksa Roro untuk menikahinya. Tapi, dalam cerita yang ada, Roro hanya dapat berusaha mengelabui Bandung dengan usaha dirinya sendiri dan ajudannya, no one else help her (masyarakat umum dan pejabat lainnya).

Kekuasaan sebesar ini juga dimiliki oleh penguasa feudal pada umumnya di berbagai belahan dunia. Perbedaan yang saya ambil dari sedikit sejarah Eropa, khususnya Inggris, yang saya baca adalah bagaimana umumnya para penguasa ini memiliki noblesse oblige, yakni tanggung jawab untuk mengayomi, melindungi, dan membangun masyarakat yang ada di bawah kekuasaannya karena mereka menyadari jika hak yang dimilikinya dihasilkan dari tanggung jawabnya terhadap tugas-tugasnya ke masyarakat.

Seperti halnya, kemakmuran wilayah yang dipimpinnya secara langsung berdampak pada kekayaan yang dimiliki penguasa tidak lepas dari peran seluruh masyarakat yang ada disana dalam menggerakkan perekonomian dan membayar pajak. Dari sinilah, lahir istilah public servant alias pembantu publik. Mungkin di masa lalu dikarenakan penguasa kental dengan status kebangsawanan, masyarakat pada umumnya masih sangat menghormati dan taat kepada para penguasanya.

Namun, seiring perkembangan zaman, reformasi sistem pemerintahan dan pendidikan, maka jabatan pembantu publik dapat dipegang siapapun dan akan mendapatkan penilaian yang sama oleh masyarakat sebagai manusia setingkat dengannya. Karena pada dasarnya, pembantu publik adalah delegasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan negara.

Disini saya bukan berusaha untuk membandingkan praktik penguasaan di Indonesia dan di luar negeri, bukan juga menunjukkan bagaimana praktik buruk hanya terjadi di Indonesia dan praktik bagus selalu terjadi di luar negeri. Saya rasa di tiap kerajaan atau wilayah akan memiliki masa dimana mereka memiliki penguasa yang semena-mena dan juga masa dimana terdapat raja yang bijaksana.

Walaupun di Indonesia tidak familiar dengan istilah noblesse oblige, bukan berarti penguasa di Indonesia tidak menganut nilai yang sama dan mempraktikkanya dalam masa jabatannya. Yang ingin saya tunjukkan adalah bagaimana reformasi pemikiran masyarakat Indonesia yang terjebak pada konsep pejabat seperti di masa lalu. Masyarakat pada umumnya masih menganggap kata pejabat menujuk kepada mereka, orang-orang yang sepertinya luar biasa dan berbeda level dengan masyarakat biasa atau masyarakat yang memiliki tingkatan jabatan di bawahnya.

Hasilnya adalah pejabat publik yang berani bertindak semene-mena, bebas melakukan KKN, dan merasa jadi artis dadakan ketika jadi terdakwa korupsi di KPK. Jujur saja, menurut saya semua ini aneh, ketika kita begitu mengagung-agungkan what so called 'pejabat', tapi menghina-hina pejabat yang terkena kasus korupsi dan terlihat santai. Well, itu semua terjadi akibat proses berpikir kita selama ini!

Internalisasi nilai oleh nenek moyang hingga orang tua kita mengenai pemaknaan kata pejabat membuat kita tidak bisa lepas dari pentransferan nilai tersebut ke dalam superego kita, merusak idealis kesetaraan manusia yang pada dasarnya ada dalam id kita, kemudian menghasilkan bentuk ego kita untuk manggut-manggut dan sungkem ke para penguasa. Singkatnya, kita menilai jika posisi kita lebih marginal dibanding para pejabat adalah hal yang wajar.

Menurut saya, pemahaman kuno istilah pejabat di Indonesia harus segera diubah menjadi pembantu publik. Revolusi mental ini dapat menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan kemawasan diri pemerintah dan kesadaran mereka dalam melaksanakan obligasinya dalam menjalankan tugas negara, sehingga dapat menurunkan, bahkan menghilangkan korupsi di Indonesia di masa yang mendatang.

Di sisi lain, masyarakat luas juga dapat memiliki pemahaman baru jika mereka semua memiliki hak dan bebas menuntutnya kepada pemerintah. Pejabat bukan lagi menjadi mereka dapat melakukan abuse of power kepada rakyat, tapi harus bekerja dengan professional dalam menjalani tugasnya; dan rakyat tidak perlu ragu untuk menyuarakan aspirasi dan keinginannya tanpa melanggar konsep saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia dan khususnya pejabat yang telah bekerja untuk memenuhi kepentingannya (rakyat).

Mungkin langkah awal yang dapat dilakukan, KBBI bisa menambahkan pengertian kata pembantu publik dan mengoreksi arti kata pejabat menjadi kata ganti seseorang yang menduduki jabatan tertentu dan tidak harus dikaitkan dengan status pekerjaannya di pemerintahan atau institusi manapun. Bagaimana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun