Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang lebih akrab dengan sebutan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan undang-undang yang telah ditetapkan pemerintah terhitung sejak tangal 5 Oktober 2020. “Omnibus law adalah undang-undang yang menitikberatkan pada penyederhanaan jumlah regulasi karena sifatnya yang merevisi dan mencabut banyak undang-undang sekaligus” (Putra, 2020). Tujuan ditetapkannya undang-undang ini yaitu untuk merevisi puluhan UU sebagai upaya menghilangkan hambatan penciptaan lapangan pekerjaan dan menghilangkan hambatan tumbuhnya UMK-M, serta menghidupkan kembali roda investasi di Indonesia. Namun sejak awal proses perencanaan, penyusunan, hingga ditetapkannya, UU Cipta Kerja menimbulkan berbagai kontroversi, baik itu karena prosesnya, maupun karena muatan pasal-pasal di dalamnya. Undang-undang yang semestinya disambut hangat oleh rakyat Indonesia, pada kenyataanya justru mendapat banyak penolakan dari serikat buruh, akademisi, ormas, dan mahasiswa. Dalam argumentasinya, mereka menilai undang-undang ini memuat berbagai pasal yang dinilai memihak golongan tertentu dan dapat memungkinkan terjadinya kerusakan lingkungan. Selain itu dalam proses pembuatan UU ini yang begitu singkat dan terkesan terburu-buru, semakin menimbulkan pertanyaan besar terkait seberapa besar urgensi penyusunan UU di masa pandemi Covid-19 dan bagaimana kualitas UU itu sendiri.
Saat ini telah banyak artikel ilmiah dan media-media lokal yang menghimpun dan membahas pasal-pasal yang dinilai kontroversial dan menimbulkan perdebatan pada klaster ketenagakerjaan. Beberapa pasal pada klaster ketenagakerjaan khususnya yang menyangkut penetapan upah yang dinilai kontroversial di antaranya adalah sebagai berikut:
- Berdasarkan Kemsetneg RI (2020) Pasal 88B UU Cipta Kerja membahas penetapan upah. Bahwa upah ditetapkan berdasarkan dua hal, yaitu satuan waktu dan satuan hasil.
- Pada Pasal 92 UU Cipta Kerja tertera, “(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, (2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah, (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dalam Peraturan Pemerintah” (Kemsetneg RI, 2020).
- Dikutip dari Kemsetneg RI (2020) pada Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja, di situ tertera penghapusan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan, di mana Pasal 91 UU Ketenagakerjaan tersebut berisikan penetapan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh yang tidak boleh rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan penjelasan Aksin (2018), ketenagakerjaan dan pemberian upah dalam perspektif Islam tergolong dalam kegiatan Ijarah (sewa-menyewa) dalam hal jual beli jasa. Landasan tentang ijarah dalam Islam tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalil-dalil pengaturan upah dalam Islam diataranya adalah QS. ath-Thalaq ayat 6 yang berarti, “Jika mereka menyusukan (anak-anak) untukmu maka berikanlah mereka upahnya”, Hadits Nabi Muhammad, “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majjah 2443), dan terakhir “Barangsiapa mempekerjakan pekerja beritahukanlah upahnya” (HR ‘Abdr ar-Razzaq dari Abu Hurairiah dan Abu Sa’id al-Khudri). Dikutip dari Aksin (2018), terdapat 4 rukun dalam ijarah, yaitu ‘aqid (orang yang melaksanakan akad), shigat akad (pengucapan akad), ujrah (upah), dan manfaat. Selain itu terdapat syarat sah dari ijarah, yaitu adanya keridhaan dari kedua pihak yang mengadakan akad, barang/pekerja tersebut bermanfaat dengan jelas, tidak menyewa untuk melakukan pekerjaan yang diwajibkan kepadanya (misal ibadah salat fardu), dan orang yang dipekerjakan tidak boleh mengambil manfaat dari apa yang dikerjakannya.
Dipandang dari perspektif Islam, tiga pasal kontroversial UU Cipta Kerja yang sudah tercantum di atas kurang sesuai dengan hukum ijarah dalam Islam. Ketidakpastian upah pekerja yang terkandung pada Pasal 92 dan 88B UU Cipta Kerja dapat menimbulkan kemungkinan besar terjadinya kezaliman pada kalangan pekerja. Kezaliman tersebut pada akhirnya merusak syarat sah ijarah, yaitu keridhaan dari kedua pihak yang melaksanakan akad. Selain itu penghapusan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan yang termuat dalam Pasal 89 angka 29 UU Cipta Kerja juga mengandung konsepsi yang berlawanan dengan dalil ijarah, seperti pada hadits Nabi SAW yang berbunyi, “Barangsiapa mempekerjakan pekerja beritahukanlah upahnya”. Selain itu pasal ini juga berlawanan dengan rukun ijarah, yaitu hilangnya akad atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
Dalam pandangan penulis, dari tiga pasal kontroversial UU Cipta Kerja yang dikutip di atas, memperlihatkan adanya ketidakmatangan pasal-pasal yang direvisi dan disatukan dalam omnibus law pada klaster ketenagakerjaan, khususnya yang menyangkut penetapan upah. Pasal-pasal tersebut kurang sesuai dengan logika keadilan dan logika kemanusiaan, serta menggambarkan ketimpangan antara pemilik modal dan pekerja. Belum lagi terdapat gesekan pasal-pasal tersebut dengan hukum ijarah jika dilihat melalui perspektif Islam.
Masyarakat Indonesia dengan jumlah penduduknya yang mayoritas merupakan umat muslim, sudah semestinya angkat suara terkait ketidaksesuaian UU ini. Selain karena adanya ketidakadilan, di sana juga ditemukan pertentangan dengan syariat Islam. Itu artinya dampak pasal kontroversial UU Cipta Kerja bukan hanya dapat dirasakan di dunia, tetapi juga di akhirat. Dari tulisan singkat ini diharapkan nantinya dapat memantik tulisan-tulisan lain yang ikut mengoreksi dan memberikan kritik terhadap ditetapkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hingga nantinya suara-suara masyarakat kecil yang terdampak oleh pasal-pasal kontroversial UU ini dapat didengarkan oleh para elite politik dan menyadarkan mereka untuk membatalkan UU Cipta Kerja melalui penetapan Perppu ataupun melalui jalur lainnya. Selanjutnya barulah pemerintah dapat merencanakan, menyusun, dan membahas UU baru sebagai penggantinya dengan lebih berhati-hati, teliti, melibatkan banyak pihak yang kompeten pada bidangnya, dan menjamin hak-hak masyarakat untuk dapat menyuarakan pendapat. Sehingga nantinya cita-cita terciptanya UU Cipta Kerja yang benar-benar dapat melindungi hak-hak dan kesejahteraan seluruh golongan akan benar-benar terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Aksin, N. (2018). UPAH DAN TENAGA KERJA (Hukum Ketenagakerjaan dalam Islam). Jurnal Meta Yuridis. https://doi.org/10.26877/m-y.v1i2.2916
Kemsetneg RI. (2020). Undang-Undang Cipta Kerja. Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 052692.
Putra, A. (2020). Penerapan Omnibus Law dalam Upaya Reformasi Regulasi. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(12).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI