Mohon tunggu...
Hanif Galih Pratama
Hanif Galih Pratama Mohon Tunggu... Bankir - Economist, Traveler, Writer

Senang melihat berbagai hal dari sudut pandang ekonomi-sosial.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Covid-19 dan Alasan Kita Akan Selamat

6 Agustus 2020   03:36 Diperbarui: 7 Agustus 2020   16:33 3065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jikalau Roland Emerich, sutradara film "2012" diberikan kesempatan lagi untuk membuat ulang film nya, mungkin ia akan merevisi judul film itu menjadi "2020".

Hari akhir yang diramalkan suku maya tersebut sepertinya harus meleset 8 tahun kemudian, saat petaka demi petaka seolah tidak pernah berhenti terjadi sejak awal tahun 2020.

Tentu kita masih ingat, awal tahun ini seluruh media tidak pernah berhenti menayangkan bencana banjir yang begitu dahsyatnya menerjang Ibukota Jakarta. Pusat perekonomian harus lumpuh sementara tergenang air. 

Tidak lama di negeri tetangga, Australia harus berjibaku memadamkan api yang melahap hutan di sepanjang southeast cost, di negara bagian New South Wales dan Victoria.

Di balik gegap kepanikan yang melanda itu, kita belum tahu petaka sesungguhnya yang akan menggelapkan tahun 2020 masih bersembunyi di sisi timur Tiongkok sana, di Kota Wuhan.

Sudah lebih dari setengah tahun 2020 ini berlalu. Tak usah kuceritakan lagi betapa chaos nya dunia sejak bulan Januari silam. Virus tak terlihat itu cukup membuat semua kepala negara panik bukan main menyelamatkan warganya. 

Namun, tetap ada dari mereka yang abai dan menganggap pandemi ini akan sembuh dengan sendirinya. Mungkin mereka salah, karena pendapat umum mengatakan virus ini berbahaya, dan harus jadi prioritas pertama dalam penanganannya.

Atau mungkin saja, mereka benar?

Banyak masyarakat mengkritik, saat pandemi ini pertama kali menyebar, pemerintah seolah terlalu sibuk memikirkan ekonominya, ketimbang kesehatan warganya.

"Harusnya pemerintah cepat lakukan lockdown supaya virus nya terkendali" Kata seorang netizen.

"Tuh lihat, Singapore aja lockdown langsung kasusnya turun drastis" Tulis seorang anggota group whatssapp keluarga, yang saya tidak pernah simpan kontaknya.

Mereka tidak salah. Namun mungkin mereka lupa bahwa mengelola negara harus banyak aspek yang dilihat. Indonesia memang memiliki PDB yang lebih besar dari Singapore, namun di sisi lain jumlah penduduk yang harus diberi makan jauh lebih banyak. 

Pemerintah tidak sekaya itu untuk bisa menanggung biaya suapan nasi seluruh masyarakat jika lockdown diberlakukan. Hingga demikian, keluarlah istilah baru "PSBB", yang banyak diplesetkan kepanjangannya itu.

Saya tidak sepenuhnya sepakat dengan penyataan soal "kita bisa menghidupkan kembali ekonomi yang runtuh, tapi tidak dengan orang yang sudah mati". Begini, mungkin retorika itu bisa diterapkan di negara lain. Namun Indonesia jauh lebih kompleks dari sebatas memilih mana yang lebih bahaya dari orang meninggal karena covid, atau mati kelaparan.

Saat Virus Covid-19 ini menyebar, saya sedang menempuh studi di US. Hiruk pikuk penanganan pandemi di Indonesia hanya bisa saya ikuti melalui streaming berita online, dan kicauan sok tau di media sosial. 

Tapi yang pasti, sumber utama berita saya adalah dari pusat pemantauan data persebaran covid lintas negara yang terus diupdate setiap harinya. Saya lebih percaya angka yang saya lihat, analisa, dan simpulkan sendiri ketimbang membaca kesimpulan media.

Give me the numbers, and I'll tell you the story, because number never lies.

Indonesia dan Amerika. Apa persamaan keduanya dalam wabah ini? Mereka sama-sama kocar-kacir karena penduduknya yang banyak, yang sialnya, virus covid menular dari orang ke orang. 

Keduanya juga sempat melakukan "karantina sosial", meski dapat dibilang terlambat dalam menghalau penyebaran covid dari awal mula terjadi. 

Amerika lebih parah karena eksposure negara ini terhadap dunia global sangat besar. Jumlah bandara internasional di US mencapai 145 bandara, bandingkan dengan Indonesia yang hanya sejumlah 30 saja.

Apa yang membedakan? Amerika punya uang lebih banyak.

Dengan resource yang begitu besar, serta keuntungan mata uang USD sebagai mata uang internasional, pemerintah US bisa mengucurkan dana bantuan hingga lebih dari US$1 triliun untuk penaganan covid ini, termasuk untuk memberikan stimulus check kepada warganya sebesar $1.200 - $2.400 per keluarga.

Yang menarik adalah, dengan sumber kekayaan yang begitu besarnya pun, Amerika tetap bersikukuh untuk membuka kembali ekonominya, dengan konsekuensi kasus covid kembali meningkat.

Indonesia juga sama. PSBB mulai dilonggarkan, dan kasus covid kembali meraja.

Apakah keputusan ini salah? Saya rasa, tidak.

Suka tidak suka, PSBB harus dibuka. Berhenti membandingkan dengan negara ini, negara itu. Kita adalah negara dengan ratusan juta penduduk.

Semakin lama dikurung, semakin besar risiko sosial yang dihadapi. Semakin lama dikurung, semakin besar peluang kita jatuh ke dalam kebangkrutan negara. 

Negara bisa bangkrut jika masyarakatnya terus disuapi karena tidak boleh bekerja. Seperti kata Elon Musk, untuk bisa makan kamu harus bekerja, karena bekerja menghasilkan uang. 

Kamu tidak bisa selamanya berharap uang jatuh dari langit. Terlebih, jumlah aparat kita tidak cukup untuk untuk meredam kekacauan masa jika terjadi konflik sosial. Malah bisa jadi, konflik sosial bisa meledak seperti di Amerika dengan tragedi kematian George Flyod-nya.

Lantas, apakah kita akan selamat? Saya yakin, iya. Mengapa?

Alasan pertama, karena kita kuat.

Perlu digarisbawai, saya bukan pakar kesehatan. Saya yakin virus covid ini nyata dan berbahaya, karena bisa merenggut nyawa manusia. Namun dalam kondisi serba terjepit seperti ini mari kita sama-sama melihat dari sudut pandang yang lebih luas.

Rasio kematian covid di Indonesia kurang dari 5%. Menurun jika dibandingkan awal mula pandemi ini menyebar yang hampir 10%. Penurunan rasio kematian terjadi hampir di seluruh negara, meski negara seperti mexico, Italy, maupun perancis masih memiliki rasio kematian diatas 10%. 

Positivity rate di Indonesia, atau rasio jumlah kasus positif terhadap jumlah test yang dilakukan, menurut kemenkes sebesar 12%. Namun jika dilihat secara total test terhadap kasus cukup rendah sekitar 7%. 

Bandingkan dengan Brazil (21%), Mexico (43%), atau bahkan USA (8%) yang masih lebih tinggi (Data per 5 Agustus 2020, worldometer.info).

Terlebih lagi, laporan dari satgas Covid-19 menyebutkan hampir 80% kasus covid di Indonesia terjadi tanpa menunjukan adanya gejala terkena virus tersebut.

Sekali lagi, saya bukan pakar kesehatan. Tapi dari fakta data diatas, bolehkah saya mengambil kesimpulan sementara jika daya tahan penduduk Indonesia relatif kuat dalam menghadapi pandemi ini? 

Seperti halnya yang pernah diutarakan oleh Dr. Siti Fadillah Supari, mantan menteri kesehatan, yang pernah berhadapan langsung dengan virus flu burung tahun 2007 -- 2008 silam.

Alasan kedua, karena kita dekat.

Krisis ekonomi menjadi momok terbesar di paruh kedua tahun 2020. Banyak negara, maju maupun berkembang, terancam mengalami resesi karena ekonomi yang tidak berjalan di paruh pertama tahun ini.

Rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal kedua 2020 sesuai dengan perkiraan banyak orang, minus 5,3%, sebagaimana terjadi di US yang minus 9,5%, atau di Uni Eropa yang harus terkontraksi hingga 14%.

Dampak resesi sudah jelas: kemiskinan, pengangguran, utang negara membengkak, hyperinflasi, dsb. Proyeksi ekonomi Indonesia sendiri paling baik dapat tumbuh tidak melebihi 1% di tahun 2020.

Indonesia dalam perjalanannya selama hampir 75 tahun merdeka, tidak lepas dari gejolak krisis ekonomi. Yang terdekat terjadi di tahun 2008 dan 1998 silam.

Meski dengan sebab yang jauh berbeda dengan apa yang kita alami saat ini. Namun tahukah kamu, kenapa kita bisa selamat dan pulih kembali dari kedua krisis ekonomi tersebut? Karena kita dekat.

Bermodalkan lebih dari 260 juta penduduk, dengan pekerja informal 40% lebih banyak dibandingkan pekerja formal, kekuatan ekonomi Indonesia bertopang di sektor rill. 

Budaya konsumtif di masyarakat Indonesia, suka tidak suka, menjadi penyelamat laju pertumbuhan ekonomi kita yang masih bisa diatas 5% ditengah berbagai ketidakpastian perekonomian global belakangan ini. Kita bukanlah negara yang akan hancur saat pasar saham runtuh atau nilai tukar bergerak liar tak terkendali. 

Ekonomi Indonesia berakarkan rumput yang kuat dan cenderung liat dan fleksibel dalam menghadapi krisis. Disini, pekerjaan dapat datang dari mana saja selama interaksi sosial masih berjalan.

Di sisi lain, tumpuan yang begitu tinggi pada sektor rill, membuat hampir mustahil perekonomian Indonesia dapat berjalan normal hanya dengan berdiam diri di rumah. 

Masih banyak dari kita yang harus berjualan di pasar sejak subuh, mendorong gerobak dari rumah ke rumah, yang masih jauh dari akses teknologi digital untuk bekerja dari jauh. 

Karenanya, bukalah kembali pintu ekonomi dengan protokol kesehatan yang ketat. Wajibkan masyarakat menggunakan masker, terapkan denda yang tinggi bagi mereka yang melanggar. Berikan pula perlindungan maksimal bagi seluruh petugas medis yang berada di garis terdepan wabah ini.

Dan lagi, perlu disyukuri bahwa ditengah keberagaman yang ada, budaya saling menolong itu tidak hilang. Mungkin tidak akan kita temukan di negara manapun, masyarakat yang bahu membahu untuk memastikan tetangganya tidak kelaparan. 

Tanpa menunggu instruksi pemerintah, kita telah berinisiatif untuk membagi-bagikan sembako gratis bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Paling tidak, agar perut mereka tidak lapar.

Saya teringat saat tahun 2018 silam, saat saya masih bertugas di Lombok. Pada pertengahan tahun, pulau itu diguncang gempa luar biasa hebatnya. 

Tidak hanya sekali dua kali, tapi hampir setiap hari mulai akhir Juli hingga Agustus, hingga meratakan daerah utara pulau itu. Saat itu yang terbesit dalam benak saya, pertumbuhan konsumsi pasti negatif, karena tak terhitung berapa banyak orang kehilangan pekerjaan. 

Namun saat rilis data oleh BPS saat itu, pertumbuhan konsumsi masyarakat tetap positif dan bahkan lebih tinggi dari saat sebelum terjadi bencana. 

Anomali itu tidak lepas dari peran aktif masyarakat Indonesia yang tidak henti-hentinya mengirimkan bantuan kepada korban gempa, sehingga daya beli mereka tetap terjaga meski kehilangan banyak hal.

Saya meyakini, kuatnya modal sosial masyarakat Indonesia lah yang akan menyelamatkan bangsa ini di tengah wabah Covid-19. Bukan vaksin, bukan pula dana subsidi, tapi semangat gotong royong dan rasa iba yang mudah tersentuh sehingga menggerakan nurani jutaan penduduknya, untuk bersama-sama keluar dan pulih dari bencana ini.

Sebagaimana hutan yang kembali tumbuh setelah terbakar, melalui bibit pohon yang terkucur air hujan setelah terbawa angin. Alam akan menemukan kembali jalannya untuk pulih setelah luluh lantak, asal kita memberinya kesempatan.

Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun