Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aspirasi Dibatasi, di Mana Peran Demokrasi?

13 Februari 2024   21:12 Diperbarui: 13 Februari 2024   21:17 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aspirasi Dibatasi, Dimana Peran Demokrasi?

Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag

Negara yang menganut sistem demokrasi dikenal dengan negara demokratis karena sangat menjamin kebebasan bagi setiap warga negaranya. Terutama kebebasan dalam menyuarakan pendapat. Kebebasan ini diharapkan agar pemerintahan yang ada, bisa berjalan dengan adil dan pro rakyat. Apalagi jika negara tersebut memiliki dasar negara yaitu Pancasila yang menjamin kebebasan berpendapat warga negaranya seperti bunyi sila keempat yang berbunyi "kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Bukankah hal ini menunjukkan bahwa tradisi menyampaikan kritik di negara tersebut adalah suatu hal yang biasa bahkan dijamin oleh negara?

Namun apa jadinya jika negara yang disebut demokratis tersebut justru bersikap anti kritik bahkan sampai mengkriminalisasi warganya sendiri hanya karena menyampaikan kritik? Tentu hal ini menandakan bahwa penguasa nampaknya sedang berjalan menuju kekuasaan diktator. Buktinya peristiwa pembungkaman kritik atau aspirasi yang disampaikan oleh rakyat, semakin hari masif. Terbaru, kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang divonis bebas dari kasus 'lord' Luhut Panjaitan pada minggu lalu.

Sebelumnya Haris dituntut empat tahun penjara dan Fatia 3,5 tahun penjara karena dituduh mencemarkan nama baik Menko Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Kasus ini berawal dari program podcast di Youtube berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam." Dalam podcast ini Haris dan Fatia menyebut Luhut bermain dalam bisnis tambang Intan Jaya di Papua. LBP pun tidak terima perusahaannya yaitu PT Toba Sejahtera dituduh terlibat dalam bisnis tambang di Papua. LBP juga merasa dalam podcast tersebut bahwa ia diserang secara pribadi dan disebut sebagai 'lord' dan penjahat. (BBC.com 8 Januari 2024)

Namun menurut majelis hakim yang memvonis bebas atas kedua terdakwa, tidak ditemukan adanya unsur penghinaan atau pencemaran nama baik terkait istilah 'lord' yang merujuk pada sosok LBP. "Yang ditemukan dalam video podcast merupakan telaah, komentar analisa pendapat dan penilaian atas hasil kajian cepat yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil." Ujar majelis hakim. Haris pun juga mengaku bahwa ia tidak pernah menyerang pribadi Luhut dan sudah meminta maaf. (BBC.com, 8 Januari 2024).

Usai sidang vonis bebas atas kedua terdakwa yaitu Haris dan Fatia, Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru mengajukan asasi. JPU mengatakan bahwa Haris disebut ingin mengelabuhi masyarakat karena berniat membawa nama Luhut dalam isu utama di akun Youtubenya yang membahas tentang kajian cepat dari Koalisi Bersihkan Indonesia mengenai bisnis pertambangan di Blok Wabu, Papua. JPU juga menyebut bahwa Haris dan Fatia tidak pernah mengkonfirmasi ke Luhut atas video podcast yang telah diunggahnya.

Di mana Peran Demokrasi?

Muhammad Isnur yang merupakan anggota tim kuasa hukum Haris dan Fatia sekaligus Tim Adovokasi untuk Demokrasi mengatakan bahwa JPU dalam tuntutannya telah menyampingkan proses pembuktian di persidangan. Mereka juga menilai tuntunan JPU adalah bentuk penegasan jaksa yang membela kepentingan Luhut. "Tuntutan ini merupakan bentuk menginjak-injak hukum sekaligus alarm berbahaya bagi situasi demokrasi, khususnya kebebasan sipil di Indonesia. Ujar Muhammad Isnur.

Sementara itu, sejumlah LSM dan perorangan yang tergabung dalam 'Koalisi Masyarakat Sipil' (KMS) menyatakan, kasus ini merupakan kabar buruk bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Indonesia. "Kasus ini hanya akan menambah catatan hitam pada rekam jejak demokrasi di Indonesia. Haris dan Fatia juga merupakan korban judicial harassment dimana perangkat hukum digunakan untuk mempidanakan masyarakat yang aktif berpendapat. Ujar KMS dalam rilisnya yang dimuat di situs Kontras.

Pakar Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah (Castro) menilai langkah kejaksaan yang mengajukan kasasi atas putusan bebas Haris dan Fatia seperti pasang badan untuk LBP. Castro berpendapat bahwa seharusnya JPU menerima putusan majelis hakim dengan alasan telah sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi yang harusnya dijamin oleh negara. "Ini pertanda kejaksaan bukan lagi menjadi alat mencari keadilan, tapi seperti diperalat oleh kepentingan pejabat publik." Ujar Castro.

Merespon peristiwa ini, beberapa mahasiswa yang tergabung dalam Aksi Kamisan Kaltim mengadakan seruan dan orasi untuk membela Haris dan Fatia. Dalam salah satu rilisnya yang diunggah di Instagram aksikamisankaltim, dikatakan bahwa kasus ini menjadi satu gambaran penguasa yang saat ini semakin masif dalam memberangus gerakan-gerakan yang mengancam kekuasaan mereka.

Oleh karenanya kasus-kasus pembungkaman yang hari ini marak terjadi sesungguhnya telah menegaskan bahwa pemerintahan hari ini nampak sedang berjalan menuju pemerintahan yang otoriter dan diktator. Padahal sejak dahulu rakyat tidak pernah menghina atau mengkritik personal penguasa seperti masalah fisik atau pribadi mereka. Rakyat hanyalah mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa yang sekiranya zalim dan tidak berpihak kepada rakyat. Namun jika kritik tersebut justru dimaknai penghinaan bahkan penguasa justru membuat berbagai peraturan perundangan untuk membungkam aspirasi rakyat, bukankah hal ini menampakkan kebohongan sistem demokrasi yang katanya menjamin kebebasan berpendapat?

Sungguh malang nasib rakyat. Ketika menjelang pemilu suara mereka diperebutkan. Namun ketika para wakil rakyat itu berhasil menduduki jabatan kekuasaan, suara rakyat justru dilupakan, dibungkam bahkan dikriminalisasi.

Islam Tidak Anti Kritik

Kritik adalah suatu hal yang baik karena kritik yang disampaikan rakyat sejatinya untuk meluruskan kesalahan penguasa. Oleh karenanya penguasa tidak boleh phobia terhadap kritik rakyat. Mengkoreksi penguasa adalah tradisi yang dilestarikan dalam agama Islam dan telah menjadi bagian dari agama ini. Salah satu motivasi rakyat dalam mengkritik penguasa dan menasihati mereka adalah hadis dari Tamim ad-Dari ra. Bahwa Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

"Agama itu adalah nasihat."  Para sahabat bertanya, "Untuk siapa?" Nabi saw. bersabda. "Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslimin pada umumnya." (HR Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).

Rasulullah saw., pun memuji aktivitas mengkoreksi penguasa yang zalim dan menyampaikan kebenaran kepada dia. "Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim." (HR Ahmad, Ibn Majah, al-Hakim dan lainnya).

Khalifah Umar bin Khattab ra. juga pernah berkhutbah di hadapan rakyatnya ketika beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, "siapa saja di antara kalian yang melihatku bengkok, hendaklah dia meluruskannya." Perkataan Umar ini benar-benar direalisasikan ketika salah satu rakyatnya yang beragama Yahudi mengadukan kepada Umar bahwa rumahnya digusur karena ingin dibangun masjid oleh salah satu gubernur di Mesir yaitu Amr bin 'Ash. Umar yang mendengar hal ini, langsung menegur Amr bin 'Ash hingga Amr ketakutan dan membangun kembali rumah Yahudi yang telah digusurnya. Orang Yahudi tersebut pun terheran-heran akan keadilan dan kebijaksaan Umar hingga akhirnya ia rela rumahnya digusur untuk dibangun masjid dan ia sendiri pun masuk Islam.

Demikianlah secuil kisah pemimpin-pemimpin dalam Islam yang senantiasa takut kepada Allah jika tidak memenuhi hak rakyatnya. Mereka justru takut jika rakyat tak berani mengkritiknya di dunia namun malah menuntut mereka di akhirat yang akhirnya menyebabkan terhalangnya mereka dari surga Allah. Sudah semestinya penguasa-penguasa saat ini meneladani pemimpin-pemimpin dalam Islam seperti Umar bin Khattab agar ketika menerima kritik, mereka bersikap lapang dada dan berintropeksi.

Seluruh pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam tentunya sangat paham bahwa penyampaian kritik dan aspirasi kepada penguasa adalah kewajiban bagi seluruh rakyat. Oleh karenanya penyampaian kritik rakyat akan difasilitasi dengan adanya pembentukan majelis umat yang merupakan bagian dari struktur sistem pemerintahan Islam. Majelis umat akan diisi oleh perwakilan atau tokoh-tokoh masyarakat baik dari Muslim atau non Muslim yang berfungsi untuk menyampaikan seluruh pendapat masyarakat yang berkaitan tentang kemaslahatan masyarakat seperti kebutuhan pokok, sarana dan prasarana, pendidikan, fasilisitas kesehatan, jalan-jalan umum dan sebagainya.

Dengan demikian menegakkan sistem Islam untuk mengatur berbagai urusan negara dan kehidupan manusia saat ini adalah agenda yang mendesak. Umat Islam pun tetap tidak boleh diam dan takut ketika menyampaikan kritik dan kebenaran kepada siapapun terutama terhadap penguasa karena sesungguhnya aktivitas mereka ini adalah aktivitas umat terbaik yang telah dijamin oleh Allah dalam Al-Qur'an yaitu aktivitas amar makruf nahi mungkar. Allah Taala berfirman:

"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kamu menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..." (QS Ali Imran ayat 110). Wallahu 'alam bis shawab.

Sumber : Koran Swara Kaltim Edisi 22 Januari 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun